- Keterbatasan pemahaman CEO dunia empiris tentang profesi dan peran PR begitu menentukan peluang akan masa depan para praktisi / profesional humas dalam berkiprah di dunia kerja;
- 'Pergerseran' profil PRO yang dibutuhkan dunia kerja berubah demikian ekstreemnya. Pada Top Level Management, dunia empiris benar-benar mengisyaratkan cap luar negeri yang dianggap layak dan mampu mengisi posisi strategis PR. Sementara pada tingkat pelaksana, dunia empiris membabi buta menentukan kriteria yang sangat tidak profesional, dan hanya sebatas ukuran fisik semata (tinggi badan, warna kulit, panjang rambut, ukuran pinggang, dst.);
- Minimnya peran pemerintah. Tak banyak regulasi yang dihasilkan untuk mendukung agar para praktisi / profesional dapat memperoleh hak-hak intelektual & profesionalnya di dunia kerja;
Bayangkan saja, bila para praktisi / profesional PR yang notabene made in lokal selalu dikalahkan oleh mereka yang bersertifikasi import, maka persoalan profesi PR di Indonesia akan bak lingkaran setan atau benang kusut yang tiada akhir. Seharusnya, para intelektual lokal pun berhak mendapatkan porsinya. Namun masalahnya dunia empiris hanya menginginkan 2 (dua) kriteria, yaitu sophisticated & just nobody's.
Profesi PR berbeda dengan profesi non eksakta lainnya. Katakanlah bidang ekonomi, yang lapangan kerjanya relatif jauh lebih besar. Dan yang terpenting dalam hal ini, dunia emphiris relatif lebih memahami bahwa pekerjaan tertentu memang membutuhkan SDM yang sesuai secara intelektual dan akademis dengan bidang pekerjaan tsb.
Sementara dalam bidang PR, pandangan dunia empiris belumlah terbangun. Ironis sekali memang, para praktisi & profesional PR yang notabene mumpuni dalam hal komunikasi justru tidak berhasil mengkomunikasikan & memperjuangkan untuk masa depannya sendiri.
Siapa harus di-educate dalam hal ini ?
- Akademia, modal pasti. Akademia perlu diberi gambaran yang optimal tentang profesi PR secara menyeluruh dan terintegrasi. Baik secara konsep, praktis, etika hingga regulasi.
- Decision Maker/ pengambil keputusan dalam dunia empiris, penentu. Merekalah penentu nasib para praktisi & profesional PR hingga mereka mempunyai kesempatan berkiprah dalam bidang yang relevan secara intelektual & profesional. Hipotesisnya, semakin baik wawasan para pengambil keputusan tentang bidang PR, maka akan semakin terbukalah peluang bagi para praktisi/profesional PR dalam mengembangkan diri secara optimal & maksimal;
- Pemerintah, kekuatan law inforcement. Keberadaan PR mutlak membutuhkan peran Pemerintah dalam regulasi yang memberikan jaminan bagi para praktisi/profesional dalam memperoleh haknya, pekerjaan secara sesuai, relevan dan obyektif. Sebaliknya, pemerintah pula yang mempunyai peran besar dalam menghimbau dunia empiris secara institusional untuk menerapkan the right man on the right place pada posisi PR dengan mensyaratkan sertifikasi profesi bidang PR;
- Practioners & Professionals, indikator. Membangun komitmen bersama para praktisi / profesional yang telah in charge menjadi salah satu cara untuk mempercepat / akselerasi dalam memberikan peluang & hak PR secara intelektual.
Harus diakui, perkembangan PR di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Hampir selama dekade belakangan ini tidak ada kemajuan yang terlalu menggembirakan. Butuh kerja keras seluruh elemen agar keberadaan PR di Indonesia dapat berubah ke arah lebih baik. Akankah para praktisi/profesional PR Indonesia mampu dan mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkannya ?
No comments:
Post a Comment