Wednesday, 8 September 2010

8 ISU NASIONAL SBY, PIDATO TANPA MOMENTUM

Pidato SBY, Rabu, 8 September 2010, Istana Merdeka. Agendanya buka puasa bersama para pimpinan media massa, shalat maghrib, dilanjutkan dengan jumpa pers. Maka kesimpulannya, pendek kata, SBY menggelar press gathering-lah memanfaatkan moment bulan puasa ini untuk bersilaturahmi. 'Uniknya' di dalam kegiatan yang hakekatnya bernuansa informal itu, 'tiba-tiba' SBY menggelindingkan '8 ISU NASIONAL' yang relatif serius dan strategis sekali !

Aha ! Tampaknya, SBY mendapat banyak respon akibat insiden pidato 1 September-nya yang lalu. Pidato SBY pada 1 September 2010 lalu sesungguhnya memang merupakan upaya counter atas insiden 13 Agustus 2010. Tapi ternyata, pidato itu tak ayal akhirnya justru menjadi insiden baru tersendiri yang tak kalah pelik ! Pidato tersebut menuai banyak komentar negatif nan pedas, kritikan tajam nan menghujam, bahkan ejekan yang luar biasa sinis ! Kesimpulannya, insiden pidato SBY 1 September 2010 lalu itu dinilai oleh banyak kalangan gagal total dan mengecewakan !

Respon atas insiden pidato SBY 1 September 2010 lalu itu pun menggelitik seorang Adji Suradji, yang tentara aktif yang konon berpangkat kol angkatan udara RI. Tulisannya di rubrik opini Kompas, bertajuk "Pemimpin, Keberanian & Perubahan" pada Selasa, 7 September 2010 itulah rupanya yang membuat sang presiden merasa tidak nyaman hati dan tidak bisa tidur ....

Akhirnya, atas tulisan itu pulalah tampaknya yang mendorong SBY merasa perlu memanfaatkan press gathering untuk melempengkan perasaannya yang carut marut lantaran kritikan terpublikasi itu. Walaupun, secara tersirat SBY tegas-tegas menyatakan 'saya tidak mengurusi hal itu, karena itu bukan domain saya', kurang lebih begitu. Namun apabila memang bukan untuk merespon tulisan kritikan itu, untuk apa seorang presiden ngurusin tulisan seorang kolonel, secara just in time dan personal seperti itu ya ? Hitungan logis untuk mengingkari realita itu pun jadi sulit dan terlalu dipaksakan toh ?

Walaupun cara SBY relatif tidak straight forward atau to the point merespon itu, tapi tetap saja caranya menyikapi tulisan itu melalui gelaran press gathering ala buka puasa terasa menjadi sangat basi dan nyata sekali maksudnya. Jadi walaupun beliau berkata "Itu bukan domain saya" namun tetap saja beliau menyebut nama Adji Suradji dengan lengkap, menyebut siapa yang harus menanganinya secara institusional juga tak kalah lengkap, bahkan apa kesalahannya pun disebutkan dengan lugas seperti "pelanggaran kedisiplinan" dll. Jadi walaupun isu Asji Suradji ditempatkan sebagai isu kedua, namun tetap saja isu tersebut nyata sekali menjadi isu yang tidak memiliki relevansi, keterkaitan dengan 7 (tujuh) isu lainnya bahkan terlepas dari keragka satuan isu serba 8 yang sudah menjadi trade mark-nya.

Intinya, 8 ISU NASIONAL meliputi :
  1. Penggantian Panglima TNI;
  2. Kasus Adji Suradji;
  3. Rencana penggantian Kapolri & Jaksa Agung;
  4. Langkah-langkah penguatan Kompolnas & Komisi Kejaksaan;
  5. Pemilihan pimpinan KPK yang sudah saya ajukan ke DPR;
  6. Stabilisasi harga bahan pokok;
  7. Bencana Gunung Sinabung;
  8. Kemacetan Kota Jakarta dan rencana pemindahan pusat pemerintahan.
Dalam diskusi "Apa Kabar Indonesia Malam" di TV One, pakar Komunikasi Politik, Universitas Indonesia, Effendi Gazali pun tajam berujar, bahwa pidato SBY malam tidak bermanfaat sama sekali. Pengagendaan Kasus Adji Suradji sebagai salah satu isu nasional pun menjadi sesuatu yang tak jelas peruntukkannya, untuk apa disampaikan;

Apalagi ditambah dengan penjelasan sang presiden dengan perbandingan-perbandingan pelanggaran yang menurut beliau serupa dan pernah terjadi negara-negara lain seperti AS dsb. Effendi Gazali juga menegaskan bahwa membandingkan kasus tulisan Adji Suradji dengan berbagai kasus di sejumlah negara adalah beda level, tidak aple to aple, alias tidak setara. Padahal menurut pengamatannya, pada dasarnya SBY & AS sesungguhnya mempunya target yang sama ke depan, yaitu perubahan yang lebih strategis.

Hanya saja, AS dengan gamblang memaparkan bahwa seorang pemimpin yang berani adalah pemimpin yang berhasil melakukan perubahan. Untuk itu, AS pun mengidentifikasi kelima presiden terdahulu dengan keberhasilan dalam perubahan selama kepemimpinan mereka karena keberaniannya. Sementara pada presiden keenam RI yang telah menampuk dalam periodenya yang kedua, perubahan tersebut seakan tak kunjung terwujud karena tak adanya keberanian pada diri sang pemimpin. Itulah duri yang melatarbelakangi jumpa pers buka puasa SBY di istana ....

Dalam kaca mata ilmu humas, menanggapi pidato SBY malam ini sederhana saja ;
  1. Salah WAKTU (TIMING). Kegiatan humas eksternal, khususnya media relations, dalam hal ini press gathering, jelas bernuansa informal. Tujuannya jelas untuk membangun hubungan antara insitusi, organisasi, perusahaan atau individu dengan komunitas media agar lebih akrab & kondusif. Walaupun kegiatan press gathering merupakan kegiatan media relations yang bernuansa informal, namun kegiatan ini dapat dimanfaatkan untuk agenda formal. Dalam arti, pemanfaatannya lebih kepada untuk menginformalkan sesuatu yang formal. Atau, menurunkan intensitas sebuah isu yang begitu kuat agar menjadi tidak terlalu powerful lagi atau berkurang 'suhu'nya. Jadi bukan sebaliknya, sebagaimana yang disampaikan SBY menyangkut kasus Adji Suradji dalam 8 ISU NASIONAL yang sebagian besar, 7 (tujuh) diantaranya merupakan isu yang serius semua;
  2. Tak punya ALASAN. Sekali lagi, format press gathering adalah informal. Maka Presiden sama sekali tak punya alasan yang kuat untuk menyampaikan kedelapan isu tersebut saat ini, dengan kemasan ini. Karena kedelapan isu tersebut relatif sudah melewati masa 'peak-season'-nya. Artinya, tak ada sesuatu yang urgent, yang mendesak untuk menyampaikan kedelapan isu nasional itu malam ini. Apalagi sebagian besar isu tersebut sudah direspon sebelumnya oleh sang presiden atau pejabat lain yang terkait dengan interaksi langsung sebelumnya;
  3. KEJUJURAN GESTURE. Ingat, berkomunikasi itu bukan hanya bahasa dan suara tapi juga ada gesture, bahasa tubuh, mimik, gerak-gerik. Simak saja betapa seriusnya air muka sang presiden dalam kegiatan yang sesungghunya non formal itu. Bicara di atas podium dengan raut muka yang tak bisa dibilang santai atau relax. Bahasa tubuh tak bisa berbohong, maka yang terjadi apa yang disampaikan dengan apa yang tersirat oleh tubuh pu mejadi berbeda.
Mengamati apa yang terjadi dalam hal ini, dalam kaca mata ilmu komunikasi khususnya ilmu humas, rasanya semakin terang benderang saja betapa pentignya presiden memiliki ahli strategi komunikasi. Pasalnya, hari demi hari, kasus demi kasus semakinnyata saja respon-respon sang presiden yang keliru, tidak tepat,bahkan tidak efisien sehingga justeru memperburuk kepemimpinan sang presiden dalam berkomunikasi.

Berkomunikasi bukanlah sesuatu yang sederhana. Komunikasi butuh strategi dan perhitungan yang matang. Salah satu teori komunikasi yang sangat terkenal, Model Komunikasi Matematis ala Laswell yang menggambarkan secara sederhana, "Siapa menyampaikan apa kepada siapa dengan saluran (media) apa kepada siapa dengan efek yang bagaimana ?" (Who - says what - to whom - in which channel - with what effect?) bisa menjadi acuan bagi para pemimpin dalam menguasai strategi komunikasi dengan stakeholdernya.

Yang tak kalah menarik, tulisan Adji Suradji tak bisa dipungkiri menjadi masalah lantaran sang kolonel dianggap melawan garis komando. Sebagai anggota tentara, seharusnya sang kolonel sadar betul bahwa tentara menganut paham 'tak ada ruang untuk mengkritik atasan ... semua atasan, karena bertentangan dengan sumpah prajurit dan undang-undang, khususnya kode etik perwira' demikian yang disampaikan SBY. Maka apa yang dilakukan Adji Suradji dengan tulisan dan pemikirannya yang dimuat Kompas pun menjadi produk sekaligus bukti pelanggaran itu.

Romo Magnis Suseno, pemuka agama Katolik yang hadir dalam diskusi pun berdiam sejenak dan berguman itu pertanyaan sulit, manakala kepadanya ditanyakan kesalahan yang dituduhkan kepada Adji Suradji dengan tulisan kritiknya. Menurutnya, secara substantif tidak salah, namun secara etika bila komunitas di mana Adji Suradji menjadi bagiana di antaranya menjadikan itu sebuah larangan, maka pa boleh buat, maka kesimpulannya menjadi berbeda. Dalam hal ini, sangat manusiawi bila Adji Suradi tanpa disadari terjebak dalam conflict of interest antara sebagai militer dan sebagai warga negara biasa.

Well, tak boleh mengkritik atasan. Itu sungguh sangat menarik sekaligus absurd. tak adakah di antara 240 juta rakyat Indonesia yang mampu melurukan itu ? Aturan memang dibuat untuk dipatuhi (atau dilanggar ?). Namun harusnya hanya Sang Khalik saja yang pantas untuk tidak dikritik karena Ia Maha Sempurna, Maha Pencipta. Namun bila UUD 1945 yang nota bene menjadi dasar negara saja direvisi, apa hebatnya sebuah doktrin militer sehingga menjadikan peluang di mana hal yang tidak konstruktif terus dipertahankan ?

Bagi para ilmuwan, cendekiawan dan profesional komunikasi khususnya humas, kasus ini sesungguhnya merupakan peluang bagi profesi ini untuk menunjukkan porsinya dan mengambil peran, serta menaikkan posisi tawar agar lebih dilibatkan dalam perencanaan & pembangunan strategis bangsa ini. Seiring dalam orises pembangunan adalah proses pembelajaran. dari padanya ada banyak kesalahan yang sesungguhnya merupakan ilmu & pengalaman yang sesungguhnya. Jangan patah semangat, terus berjuang cendekiawan & ilmuwan komunikasi Indonesia demi kemajuan bangsa ! 

No comments:

Post a Comment