Thursday 2 September 2010

PIDATO POLITIK PAK SUSI

Lagi-lagi, negara tetangga malingsia berulah, rakyat pun marah. Untuk kesekian kalinya, hubungan bilateral Indonesia - malingsia bermasalah. Seperti telah dirasakan oleh seluruh Bangsa Indonesia, malingsia seringkali bersikap yang membuat Rakyat Indonesia merasa sangat tidak nyaman, terusik harga dirinya sebagai bangsa yang besar dan merdeka. Hubungan Indonesia - malingsia tidak pernah benar-benar tulus, mesra, itu sudah bukan rahasia lagi. Sejak puluhan tahun lalu, malingsia memang sudah menjadi negara tetangga yang membuat Presiden Soekarno pun menyatakan "Ganyang Malaysia !" merespon sikap negara sombong yang tak mengenal etika itu.

Kali ini, malingsia berulah dengan menangkap 3 (tiga) orang petugas Departemen Kelautan & Perikanan RI lantaran ketiganya menangkap 8 (delapan) orang nelayan malingsia yang memasuki batas wilayah maritim Indonesia. Ironisnya, insiden ini terjadi pada 13 Agustus 2010 atau hanya selang beberapa hari menjelang Peringatan Kemerdekaan RI yang ke-65 !

Insiden ini semakin bertambah buruk lantaran pemerintah dinilai oleh banyak kalangan terlalu lamban dan tidak responsif menyikapi masalah ini. Padahal seperti diketahui bersama, selama ini malingsia sudah terlalu sering menyinggung harga diri Bangsa Indonesia dengan berbagai sikap curangnya. Sebut saja pendudukan Pulau Sipadan - Ligitan, pengakuan lagu Rasa Sayange dalam profil video wisata malingsia yang ditayangkan di televisi, hingga Reog Ponorogo, tari Pendet - Bali, Batik, bahkan Rendang Padang pun diklaim sebagai produk budaya malingsia. Belum lagi tragedi yang dialami para TKI yang bekerja di malingsia dan mengalami perilaku buruk. Para pahlawan devisa itu pulang dalam keadaan cacat, sakit, bahkan tinggal nama, karena perlakuan bangsa malingsia yang tidak patut ....

Menyikapi semua permasalahan ini, selama bertahun-tahun, pemerintah sungguh terkesan tidak serius dan sungguh-sungguh. Hasilnya, hingga kini Lagu Rasa Sayange masih berkumandang dalam public address sebuah kantor perusahan migas milik negara jiran tersebut di bilangan Sudirman, Jakarta. Nasib Sipadan Ligitan pun lebih mengenaskan, dicaplok dengan sukses oleh negeri melayu itu. Sementara nasib TKI, setiap waktu, selalu saja ada kisah sedih yang dialami para TKI itu, entah disiksa, diperkosa, difitnah, dipenjara hingga dihukum pancung yang bisa jadi mati sia-sia tanpa pernah terbukti kesalahannya. Kasus-kasus lainnya, pemerintah baru bersikap manakala rakyat sudah terlebih dulu bereaksi keras. Olala ... pemerintah semakin hari semakin aneh, lebih takut rakyat ketimbang musuh sesungguhnya.

Dan Rabu, 1 September 2010 malam, setelah bergulir lebih dari 2 (dua) minggu, barulah Pak Susi memunculkan batang hidungnya. Semalam beliau menyampaikan pidato resmi kenegaraan menanggapi konfllik bilateral Indonesia - malingsia itu. Berikut evaluasi pidato resmi kenegaraan Pak Susi terkait masalah konflik bilateral Indonesia - malingsia ;
  1. PERSONAL - WHO. Pak Susi seperti biasa tampil percaya diri, tapi kali ini ia berpakaian resmi warna merah menyala, merah darah, bersanding Bendera Sang Saka Merah Putih yang berdiri garang di sisi kanannya, berlatar belakang dinding putih bersih. Sementara Pak Susi mengenakan kemeja merah darah, Bu Ani tampak mengenakan busana muslimah berkerudung (sangat jarang beliau kenakan) warna putih ! Good !;
  2. GESTURE- HOW. Tanpa kaca mata, memasang air muka cukup serius dan ... ini dia menarik, dengan gesture yang sangat jauh dari biasanya. Ya, semalam Pak Susi sangat jarang menggerak-gerakan tangannya sebagaimana biasanya beliau biasa berpidato bak deklamasi. Semalam, manuver tangannya sungguh sangat sedikit bergerak-gerak. Hal ini sesungguhnya bisa jadi menunjukkan Pak Susi berkomunikasi lebih serius dari biasanya;
  3. TEMPAT - WHERE. Tidak seperti biasanya, semalam Pak Susi menyampaikan pidato resminya itu di Cilangkap, yang tidak lain merupakan markas besar Angkatan Bersenjatan Tentara Nasional Indonesia. Pasti, apapun alasannya pemilihan tempat yang berbeda dan bukan di istana akan menimbulkan efek psikologis dan kesan yang berbeda. Walaupun, staf kepresidenan menginformasikan hal itu kebetulan semata karena semalam Pak Susi memenuhi undangan buka puasa bersama di Cilangkap. Kabarnya pula, acara berbuka puasa di Cilangkap konon merupakan jadwal tetap tahunan setiap Ramadhan. Anda percaya ?;
  4. PENGUASAAN DATA - HOW. Sebagai seorang yang sangat intelektual, beliau berpidato secara langsung tanpa teks, menyodorkan berbagai data berupa angka-angka yang beliau hafal di luar kepala. Baik angka-angka yang berkaitan dengan kerjasama ekonomi hingga jumla TKI disampaikan Pak Susi secara lisan, tanpa membuka catatan sedikitpun. Walau tidak menutup kemungkinan angka-angka itu disajikan secara tertulis dalam ukuran besar oleh kru tv oleh sehingga beliau dapat mengutipnya secara wajar tanpa terkesan tengah membaca;
  5. WAKTU - WHEN. Pak Susi kehilangan moment. Ingat, manajemen krisis dalam PR yang terpenting antara lain adalah tenggat waktu ! Maka bila insiden terjadi 14 Agustus 2010 dan baru direspon secara resmi 16 hari kemudian, tentu hal itu menjadi sngat terlambat. Apalagi, dalam kurun waktu itu ada moment penting di mana, pihak kita, Indonesia tengah memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-65. Seharusnya hari-hari menjelang 17 Agustus saat itu menjadi moment yang pas untuk menunjukkan kebesaran Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dan diakui di seluruh dunia. Faktanya, Pak Susi baru merespon nyaris 3 (tiga) minggu setelah kasus bergulir, ketiga petugas telah dikembalikan, namun ekskalasi emosi rakyat justru sudah semakin panas. Artinya, tingkat kerumitan masalah sudah semakin kompleks. Sebaliknya, malingsia serasa memegang kendali atas kasus ini dengan kembali menggertak kedaulatan RI seiring dengan peringatan hari 'jadi' negara mereka. Bayangkan, 9 nota protes Indonesia diabaikan begitu saja oleh negara sombong itu ! Di sini, Pak Susi yang notabene menjadi orang nomor satu Bangsa Indonesiabenar-benar sudah ketinggalan moment dan menjadikan seluruh rakyat semakin tergadai harga dirinya lantaran insiden ini;
  6. PESAN - WHAT. Mengamati isi pidatonya, tampaknya sasaran yang ingin dicapai Pak Susi adalah meredam emosi masyarakat luas yang tengah merespon konflik dengan ekskalasi semakin panas. Pak Susi terlihat sangat serius menjaga obyektivitas dalam upaya penyelesaian konflik. Sebaliknya Pak Susi sangat sedikit menyampaikan sinyal-sinyal ketidaknyamanan yang dirasakan seluruh elemen bangsa secara lebih lugas dan tegas;
  7. SASARAN - WHO. Logikanya, pidato Pak Susi terjadi diawali oleh insiden 13 Agustus 2010. Namun, bila mengamati uraian pesan dalam pidatonya Rabu malam, maka publik pun menjadi bingung dan gamang. Ekskalasi yang terjadi di masyarakat membutuhkan respon yang segera dengan pesan dan makna, intensitas serta kekuatan tertentu yang selayakanya 'terbaca' oleh Pak Susi, at least oleh staf ahli kepresidenan yang menyiapkan pidato beliau;
  8. PENDEKATAN- HOW. Pak Susi memilih melakukan penyelesaian dengan cara diplomasi dengan pendekatan legal, bukan perang. Fine, itu jelas lebih baik dan rasional. Namun, pendekatan legal dalam diplomasi sungguh sangat konservatif bila tidak didukung dengan strategi komunikasi politik yang brilian ! Alhasil, pidato Pak Susi pun terasa sekali hambar, tanpa greget, tanpa muatan psywar dan propaganda yang mampu menggentarkan lawan. Pilihan kata-kata yang normatif tanpa muatan dan spirit, yang menyiratkan makna kekuatan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Bandingkan dengan pidato Soekarno yang memilih kata-kata begitu lugas "Ganyang Malaysia !" 
  9. SIKAP - WHAT. Pidato Pak Susi pun tidak menyampaikan sikap dan keputusan strategis yang menunjukkan sikap kekecewaan bangsa Indonesia. Belajar dari kasus terdahulu, Soekarno berani membuka posko pendaftaran calon relawan tentara perang melawan malingsia untuk dilatih dan dididik sebagai tentara yang berani. Tidak hanya itu, Soekarno pun langsung menggalang dana di antara masyarakat Indonesia untuk membeli persenjataan perang. Sementara Pak Harto pernah dengan tegas menarik pulang para duta besarnya di Australia dan malingisa kembali ke Indonesia sebagai wujud kekecewaannya atas sikap negara-negara sahabat. Sementara dalam kasus ini, Pak Susi tidak menunjukkan sikap apa-apa yang pantas diputuskan oleh seorang kepala negara. Menurut seorang pengamat militer yang menanggapi pidato Pak Susi malam itu, kurang beraninya sikap beliau tercermin antara lain dalam pilihan kata-kata yang sangat minim kaitannya dengan kekuatan militer dan politik kenegaraan; 
  10. TARGET - WHAT. Pak Susi menyampaikan agenda penyelesaian berupa perundingan di antara kedua negara mengenai batas wilayah dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, yaitu 6 September 2010. Seperti yang dijelaskan oleh pakar komunikasi politik UI, Effendi Gazali, maka target itu berpeluang akan dijadikan buying time oleh malingsia untuk mempermainkan Indonesia; 
  11. ALASAN LAIN - WHY. Dari hasil diskusi 3 (tiga) orang pakar yang ditayangkan TV One sebagai stasiun swasta yang menayangkan secara langsung pidato Pak Susi, terkesan bahwa ada kemungkinan Pak Susi justru berpidato karena merespon isu hak interpelasi yang ramai diwacanakan oleh DPR ketimbang merespon konflik atas dasar kesadaran dan kebutuhan akan pentingnya penyelesaian konflik ini sesegera mungkin. 
Kalau sudah begini, tidak bisa dihindari lagi bahwasannya Pak Susi membutuhkan tim PR yang mumpuni yang dapat merekomendasikan strategi komunikasi politik yang efektif, tepat sasaran. Hasil interview semalam dengan pakar komunikasi politik, pengamat militer dan pakar hubungan internasional, staf ahli presiden, anggota DPR dari fraksi Golkar dan fraksi Demokrat, terkesan bahwa penanganan atas kasus ini miskin dimensi. Artinya, karena hanya mengedapankan diplomasi dengan pendekatan legal serta lebih banyak mempertimbangkan sisi ekonomi tanpa didukung oleh strategi komunikasi politik. Akibatnya, pidato Pak Susi pun menuai banyak kritik tajam nan pedas. Tidak itu saja, pidato Pak Susi pun semakin melukai hati seluruh elemen bangsa !

Ironisnya, pidato Pak Susi pun menjadi antiklimaks dalam penanganannya insiden 13 Agustus ini. Pesannya sangat miskin sentuhan strategis dalam banyak dimensi, khususnya kekuatan manuver dalam penyelesaian kasus ini. Betapa besar pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini. Hingga kapan para ilmuwan komunikasi Indonesia berdiam diri menyikapi hal ini ? Tak tergerakah seorang pun pakar di antara mereka untuk memberikan rekomendasi dan memberikan kontribusi nyata bagi bangsa ini yang tengah teromabng-ambing dalam pusaran ketidakmenentuan ... ?

No comments:

Post a Comment