Sesuai gejala yang ditemui di lapangan, kegiatan "open house" diselenggarakan dengan cara sebagai berikut :
- Susunan acara tidak terencana dengan baik. Artinya, tidak ada susunan acara yang baku, yang standar diterapkan oleh instansi yang bersangkutan dalam proses penerimaan tamu, khususnya dalam penyelenggaraan open house. Umumnya kegiatan open house hanya dibuka tanpa ditutup secara resmi ;
- Jumlah petugas pendamping sangat terbatas. Artinya, terdapat toleransi tertentu dalam penerimaan tamu dalam sebuah kegiatan open house secara kolektif. Seorang petugas humas sangat tidak efektif bila menjadi tour guide bagi lebih dari seratus delegasi lokal dan asing, berkeliling menyaksikan berbagai fasilitas perusahaan ;
- Tidak ada penjelasan. Artinya, walaupun sudah terdapat petugas humas yang mendampingi, namun sedikit sekali informasi yang disampaikan. Selayaknya dalam kegiatan open house, maka petugas humas memberikan informasi secara aktif dan menarik ;
- Tidak ada alat bantu audio. Artinya, mendampingi tamu dalam jumlah cukup banyak, selayaknya petugas humas menggunakan alat bantu audio (pengeras suara) yang portable. Penggunaan pengeras suara portable selain memudahkan para peserta dalam mendengarkan penjelasan, juga memudahkan petugas humas itu sendiri agar tidak merasa lelah karena harus berbicara lebih keras dalam kurun waktu cukup lama. Selain itu, bila alat pengeras suara yang tersedia berupa pengeras suara konvensional, tentu akan sangat merepotkan karena harus menenteng kotak pengeras suara dalam ukura besar dan berat secara berpindah-pindah ;
- Tidak ada photo session. Artinya, kegiatan yang melibatkan banyak orang bahkan hingga ratusan orang bagaimana pun merupakan sebuah kegiatan spesial. Tidak setiap waktu, sedemikan banyak orang berkesempatan berkumpul dan berpeluang berkunjung ke institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu, pendokmentasian kegiatan secara kolektif melalui photo session merupakan momment yang sangat penting bagi para tamu. Karenanya, selayaknya dalam sebuah open house memberikan atau menyediakan kesempatan pendokumentasian atau pohoto session bagi seluruh tamu atau delegasi secara baik, rapi dan tertib ;
- Tidak tersedia fasilitas ibadah yang memenuhi kepantasan. Artinya, dalam sebuah kunjungan open house, biasanya menyita waktu cukup lama, 3-4 jam. Untuk situasi di kota besar, umumnya kegiatan open house dimulai pukul 09.00 wib. Jadi kemungkinan besar proses open house akan melampaui waktu ibadah. Untuk itu, pihak penyelanggara atau tuan rumah selayaknya menyediakan tempat ibadah yang memudahkan dengan segala kelengkapannnya seperti sandal, tempat wudhu yang bersih, tissue, toilet/rest room, dll.
- Tidak tersedia brosur. Sebaiknya, dalam sebuah kunjungan pihak penyelenggara membagikan brosur bagi seluruh tamunya, entah itu leaflet, booklet, folder, dsb.
- Tidak tersedia cenderamata. Cenderamata, memang bukan suatu keharusan dalam sebuah kunjungan atau kegiatan open house. Namun, bagi kegiatan open house yang mendatangkan tamu asing, apalagi dalam jumlah lebih dari 150 orang, selayaknya institusi menghargai kedatangan para tamu dengan memberikan cenderamata sebagai kenang-kenangan.
Demikianlah kondisi yang ditemui di lapangan dalam proses penyelenggaraan open house. Saya menduga, para person in charge dalam kegiatan tersebut bukan petugas yang memiliki kompetensi baik secara akademis maupun pengalaman cukup dalam hal itu. Sekali lagi, kondisi empiris di lapangan menunjukkan bahwa pekerjaan humas belum dikuasai secara baik oleh banyak instansi dan SDM kehumasan itu sendiri.
Menyiasati hal seperti ini, tentu yang paling efektif antara lain adalah dengan menempatkan SDM yang memiliki kompetensi kehumasan pada lembaga kehumasan sebuah institusi atau perusahaan. Selanjutnya, SDM yang ada pun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan profesional yang berkembang saat ini. SKKNI Bidang Kehumasan merupakan salah satu panduan yang dapat digunakan oleh para humas profesional dalam meningkatkan kompetensinya sesuai arahan dan regulasi pemerintah.
No comments:
Post a Comment