Sunday, 10 May 2009

HASIL PEMILU 2009

Menepati janjinya, Komisi Pemilihan Umum akhirnya mengumumkan hasil penghitungan suara pemilu anggota DPR 2009 sesuai jadwal yang telah ditentukan, Sabtu, 9 Mei 2009 atau tepat 1 (satu) bulan setelah tanggal pelaksanaan hari pemungutan suara, pada hari Kamis, 9 April 2009.

Walaupun penuh dengan berbagai persoalan, bagaimanapun inilah hasil kerja Komisi Pemilian Umum 2009. Berikut, adalah hasil penghitungan suara Pemilu Anggota DPR 2009 :
  1. Jumlah suara sah 104.0999.785 suara;
  2. Jumlah suara tidak sah 17.488.581 suara;
  3. Jumlah golput Alias punya hak pilih namun tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 49,6 juta orang atau sebesar 29,01% ;
  4. Jumlah partai yang lolols parliementary threshold sebanyak 9 partai;
  5. Hasil penghitungan suara belum termasuk beberapa daerah lain yang masih melakukan penghitungan ulang seprti di Nias Selatan dan Papua.

Kesembilan partai yang lolos parliementary threshold, yaitu :

  1. Partai Demokrat, 148 kursi, 26,43%
  2. Partai Golkar, 108 kursi, 19,29%
  3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 93 kursi, 16,61%
  4. Partai Keadilan Sejahtera, 59 kursi, 10,54%
  5. Partai Amanat Nasional, 42 kursi, 7,5%
  6. Partai Persatuan Pembangunan, 39 kursi, 6,96%
  7. Partai Gerindra, 30 kursi, 5,36%
  8. Partai Kebangkitan Bangsa, 26 kursi, 4,64%
  9. Partai Hanura, 15 kursi, 2,68%

Kesembilan partai itulah yang lolos parliementary threshold alias berhak mengirimkan perwakilannya di DPR sesuai persyaratan ambang batas yaitu pencapaian suara sebesar 2,5%.

Kelima kesimpulan tersebut dikutip dari harian Kompas hari ini, Minggu, 10 Mei 2009. Walaupun data tersebut tidak terlalu lengkap, namun setidaknya berdasarkan data yang ada menunjukkan fenomena yang menarik.

  1. Bagaimana kita bisa membaca sebuah data, bila N atau populasinya tidak disebutkan. Artinya, data tersebut tidak dilengkapi dengan mencantumkan berapa besar sesungguhnya jumlah pemilih yang terdaftar. Bila data hanya menyodorkan hasil, tanpa menyertakan N-nya, tentu akan menyulitkan melalukan evaluasi dalam membaca perbandingan secara statistik. Apalagi, tidak semua hasil diberikan data konversinya dalam bentuk persentasi. Mungkin, karena KPU sebagai nara sumber tidak memberikan data yang lengkap kepada media massa. Akibatnya, media massa pun hanya memiliki data yang terbatas untuk disampaikan kepada publik.
  2. 'Kemenangan' golput secara statistik lebih besar atau mencapai 49.677.076 suara atau mencapai 29,01% ketimbang perolehan suara partai demokrat sebagai peraih suara nomor satu yang hanya mencapai 21.703.137 suara yang ternyata mencapai 26,43% (dihitung dari suara pemilih yang 104 juta suara). Jadi, bingung 'kan bacanya ? Bila melihat angkanya, suara golput angkanya 2 kali lebih besar, atau lebih dari 100% dari suara perolehan suara demokrat. Tapi kok, persentasi golput hanya 29,01% sementara demokrat mencapai 26,43%. Padahal jumlah suara golput 2 (dua) kali lipat lebih banyak dari demokrat. Berarti, kemungkinannya keduanya dihitung, dibandingkan dengan acuan angka atau N yang berbeda 'kan ? Masalahnya, semua data tersebut tidak disandingkan dengan data yang lengkap dengan masing-masing acuan yang jelas.

  3. Berdasarkan data tersebut di atas, maka bila point 1 + point 2 + point 3, artinya 3 (tiga) kelompok hasil penghitungan tersebut angkanya dijumlahkan, maka sebagai gambaran akan diperoleh angka 104 + 17 + 49 = 166 juta. Artinya hampir 170 juta orang yang terdaftar sebagai peserta pemilu. Artinya inilah N atau populasi peserta pemilu itu. Hanya saja, karena proses pemilu merupakan proses layaknya sensus, maka tidak ada "n" atau sample dalam hal ini.

Demikian, hal-hal di dunia empiris yang menjadi sumber pembelajaran bagi para praktisi atau profesional humas. Hal-hal seperti ini bukan untuk mendeskriditkan pihak manapun tapi untuk belajar. Bahwa sebuah statistik, sebuah riset menjadi bagian dari tugas seorang petugas humas. Artinya, petugas humas wajib menguasai hal-hal mengenai riset dan statistik dengan baik sehingga saat humas menyampaikan pesan kepada publik, ia akan berbicara nerdasarkan data yang akurat, bukan asumsi.

Jadi, betapa menariknya mempelajari sebuah riset bukan ? Apalagi bila kita dapat mempelajarinya langsung dari kehidupan sehari-hari dengan data yang mudah diakses tanpa prosedur yang berbelit dan gratis. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, jadi maju terus, pantang mundur dan jadilah peneliti sejati !

No comments:

Post a Comment