Wednesday 13 October 2010

BLACK MARKETING, PR dan GLOBALISASI

Dua hari belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan penarikan produk mie instan buatan Indonesia yang dijual di Taiwan oleh pemerintah setempat. Alasannya, menurut pemerintah Taiwan produk mie instan buatan Indonesia itu mengandung bahan pengawet yang melampaui batas ketentuan standar internasional. Akibat penarikan produk mie instan itu, PT. Indofood Sukses Makmur (ISM) selaku produsen sejumlah mie instan itu dengan brand-nya Indomie, Sarimie, dll. mengalami kerugian berupa penurunan nilai saham dalam bursa hinga 3,5% lebih !

Berdasarkan respon di lapangan, terlihat hal-hal sebagai berikut :
  1. INTERNAL, Pemerintah dan PT. ISM langsung melakukan koordinasi dan klarifikasi mengenai standar pemakaian bahan pengawet yang terkandung dalam kecap tersebut. Di Indonesia, masyarakat relatif tidak terganggu dengan pemberitaan tersebut seperti hasil wawncara langsung sejumlah siara radio swasta Selasa pagi kemarin;
  2. EKSTERNAL, Tidak terlalui diketahui secara pasti apakah pemerintah maupun PT. ISM langsung merespon atas pemberitaan maupun penarikan produk mie instan tersebut kepada pemerintah dan masyarakat Taiwan. Hal ini menjadi prioritas tak kalah penting, karena publik kelompok inilah yang rentan dari perubahan sikap yang 'favorable' dengan perusahaan.

BLACK MARKETING
Sejak bergulirnya kasus tersebut pada akhir minggu lalu hingga hari ini, pihak Indonesia menduga bahwa penarikan tersebut lebih dilatarbelakangi oleh strategi pemasaran yang dilancarkan pemerintah Taiwan. Mengguritanya produk mie instan asal Indonesia dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau membuat produk ini mendominasi pasar lokal. Akibatnya, mie instan buatan Taiwan sendiri kalah bersaing dengan produk mie instan asal Indonesia.

Bisa jadi, pemerintah Taiwan melakukan upaya 'black marketing' ini untuk mengantisipasi dampak arus globalisasi khususnya pembatasan produk asing untuk melindungi produk lokal. Maka digulirkanlah isu bahan pengawet pada produk basah antara lain kecap yang kebetulan dalam standar internasional menerapkan 2 (dua) prosedur yang berbeda. Jadi celah inilah yang menjadi peluang bagi pemerintah Taiwan untuk melancarkan strategi black marekting-nya untuk membatasi dominasi produk asing.

Kabarnya 'pembatasan' ala pemerintah Taiwan ini dilakukan karena mereka akan memajukan produk mie instan dalam negeri dengan proses produksinya yang jauh lebih maju dibandingkan teknologi yang dimiliki produsen mie instan asal Indonesia. 

INDOMIE vs PERTAMINA
Kasus yang dialami oleh Indomie bisa jadi sedikit menyerupai dengan kebijakan yang dipilih oleh Pertamina dalam pengalihan pasar terhadap produk bahan bakar premium kepada pertamax. Tak kalah 'nyeleneh' Pertamina diduga melakukan penurunan, perubahan atau apa pun namanya yang mengakibatkan kualitas bahan bakar premium menjadi berbeda dari biasanya. Akibatnya, jutaan pemilik kendaraan di Indonesia yang notabene merupakan pelanggan setia Pertamina mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat rusaknya fuel pump. Strategi ala Pertamina bertujuan agar para pelanggan beralih dari bahan bakar premium yang merupakan produk bersubsidi ke produk pertamax yang tanpa subsidi.

Berhasilkah Pertamina dalam hal ini ? Belum tentu. Karena tak sedikit pelanggan justru beralih ke produk kompetitor yang harganya hanya terpaut sedikit lebih mahal namun kualitasnya jauh lebih baik. Jadi belum tentu pelanggan beralih dari premium ke pertamax seperti yang diharapkan Pertamina. Dua minggu lalu, produk kompetitor itu justru menaikkan harga jualnya dengan tenang tanpa reaksi apapun dari pelangganya. Mereka tetap membeli seperti biasanya.

Dari kedua kasus ini terlihat ;
  1. Pemerintah Taiwan sangat peduli dengan produk lokalnya dan melakukan upaya yang relatif nyata bagi bangsanya. Apapun alasannya itu toh sah-sah saja, yang terpenting mereka menjaga perekonomian negaranya tetap terjaga. Bagaimana dengan negara kita ?
  2. Sebaliknya, kebijakan yang diambil oleh Indonesia dalam kasus bahan bakar premium tersebut justru telah ,menimbulkan banyak kerugian bagi pelanggannya. Akibatnya, perusahaan justru ditinggalkan oleh ratusan juta pelanggannya. Lebih buruknya lagi, kebijakan dan strategi yang tidak etis ini justru membuat pihak kompetitor yang menikmati keuntungan tanpa melakukan upaya marketing yang berarti. 
Menyimak 2 (dua) kasus tersebut betapa terlihat kecerdasan dalam pengambilan keputusan dan menentukan strategi bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Selain itu, perlu kecerdasan intelegensia tersendiri dalam proses ini agar dampaknya tidak menjadi bumerang yang justeru akan merebut peluang yang seharusnya dapat kita miliki. Tetap semangat Indonesia !

Wednesday 6 October 2010

PRESIDEN BUTUH JUBIR ATAU AHLI STRATEGI KOMUNIKASI ?

Beberapa hari lalu sebuah media massa nasional memberitakan tentang pengakuan pemerintahan kerajaan Belanda atas kemerdekaan RI. Pertanyaannya, pengakuan atas kemerdekaan yang mana ? Bukankah Indonesia sudah merdeka 65 tahun yang lalu dan telah diakui kedaulatannya oleh seluruh negara di dunia ?

Bingung belum juga usai, kemarin, Selasa, 5 Oktober 2010 seluruh bangsa ini dibuat semakin surprise dengan berita pembatalan keberangkatan Presiden SBY ke negeri kincir angin itu, hanya berselang beberapa menit menjelang pesawat tinggal landas. Seluruh rombongan yang sudah berada di kabin pesawat kepresidenan dan bahkan telah menikmati seluruh layanan awak kabin hanya tinggal menungu Presiden SBY beserta ibu naik ke pesawat yang ternyata dibatalkan.

Rupanya, SBY batal terbang lantaran di saat yang bersamaan dengan kunjungan tersebut, pengadilan Belanda menggelar sidang dugaan kasus pelanggaran HAM oleh pemerintah RI di Maluku dan Papua. Tidak hanya itu, tuntutan yang diajukan oleh Republik Maluku Selatan itu mentargetkan penangkapan SBY saat melakukan kunjungan kenegaraan tersebut ke Belanda.

Hal-hal itulah yang menjadi pertimbangan sehingga SBY membatalkan kunjungannya untuk 'memenuhi undangan Ratu Belanda' yang notabene adalah pemimpin tertinggi kerajaan yang dulu menjajah Indonesia selama lebih dari 350 tahun, alias 3,5 abad ! SBY beralasan, ia tidak bisa menerima manakala ia datang berkunjung untuk memenuhi undangan tuan rumah namun di saat yang bersamaan ia justru terancam ditangkap oleh pengadilan Belanda.

Sebuah  stasiun televisi swasta pun menggelar dialog yang disiarkan secara langsung dari bundaran HI semalam. Seorang politisi senayan asal partai kepala kerbau dan seorang mantan menteri dari partai biru pengusung SBY pun bersilang pendapat. Si politisi partai kepala kerbau berdebat apa yang dikhawatirkan, sementara sang mantan menteri menyoal itu menyangkut harga diri bangsa. Menarik !

Dalam pemberitaan Kompas pagi ini, Presiden dijadwalkan ke Belanda untuk sejumlah agenda, antara lain pertemuan dengan Ratu Belanda, kesepakatan kerja sama, serta bertemu dengan pengusaha dan mahasiswa Indonesia di Belanda. Namun utamanya tentu berkaitan dengan pengakuan kemerdekaan itu tadi !

Well, harga diri bangsa. Bukankah bila kerajaan Belanda selama ini tidak mengakui kemerdekaan RI dan baru kini akan mengakui kedaultan RI merupakan sebuah pelecehan yang sungguh nyata ? Lalu di mana harga diri kita ? Padahal seluruh negara  di dunia sudah mengakui kedaulatan RI dan keberaadaan kita.

Setelah mengakuinya baru sekarang, kita pula yang menghampiri mereka untuk mendapatkan katankanlah selembar kertas pengakuan kemerdekaan itu ? Oh la la ... ke mana pula harga diri bangsa kita ? Bukankah kita menjadi bersikap layaknya pengemis kepada kaum yang sudah menjajah, menyengsarakan kita dan kini mereka menjadi negara yang amat kaya sejahtera dengan sumber daya alam kita ? Bagaimana pula perhitungannya ini ?

Pemerintah Belanda sendiri memang sudah memberikan jaminan keamana penuh atas kunjungan SBY sebagaimana yang direncanakan. Bila SBY memilih membatalkan, bukankah ini berarti sebuah pengakuan atas keberadaan RMS ? Dengan kata lain, SBY pun terkesan gentar dengan keberadaan RMS dan tokoh ekstreem Geert Wilders, walaupun Wim Sopacua, jubir RMS mengakui belum ada putusan tentang tuntutannya terhadap penangkapan SBY itu !

Sesungguhnya yang dibutuhkan seorang presiden itu seorang juru bicara atau seorang ahli strategi komunikasi yang handal ? Tapi tampaknya yang telah direkrut negara ini bagi presidennya justru seorang ahli pencitraan yang lazim menjadi konsutan kepribadian para CEO atau artis yang tengah meledak lantaran menjulang secara instan akibat program reality show !

Sebaliknya, hai, hai ... ke mana sembunyinya gerangan para ahli komunikasi kita ? Para pakar komunikasi, ilmuwan komunikasi yang sudah melanglang dunia dan mendapatkan beasiswa dari negara yang sungguh elok dan murah hati ini ? Mengapa tidak ada rekomendasi nyata dari para pakar komunikasi ini untuk membantu negara yang semakin semrawut ini ? Sampai-sampai, seorang presiden pun latah mengurusi soal mikrofon wartawan yang tidak berada di tempatnya seperti biasanya ! Presiden memilih membalikkan badan dan meminta mikrofon para wartawan itu berada di atas meja podium sebelum memulai konferensi persnya. Saat konferensi berlangsung, meja podium pun memang terlihat 'penuh' mikrofon walau letaknya berantakaaaaaaaaaaaaaaaannnnn !!!

Seperti syair lagu wajib nasional yang sangat termasyur itu, "Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, mas intannya kau kenang. Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa ..."

Belajar itu penting, belajar itu perlu, belajar itu harus, walau hingga menuju liang kubur. Tapi pembelajaran yang seperti ini sungguh sangat mahal. Kapan seharusnya bersikap tegas, dan kepada siapa seharusnya bersikap tegas sudah dilakukan secara terbalik-balik ... !