Wednesday 29 December 2010

74,01% PILKADA 2010 BERUJUNG DI MK

Harian Kompas pagi ini, Rabu, 29 Desember 2010 dalam pemberitannya mengungkapkan sebuah fakta yang menarik, bahwa hampir 75% penyelenggaraan pilkada (pemilihan kepala daerah) di Indonesia berakhir di MK (Mahkamah Konstitusi). Angka sebesar itu jelas sangat signifikan dan tidak bisa dianggap remeh. Data MK mencatat bahwa 227 pilkada, 168 di antaranya berujung pada sengketa di MK (74,01%). Hanya 58 di antaranya yang berakhir tanpa masalah.

Perseteruan paska pilkada tak jarang berakhir dengan penyelnggaraan pilkada ulang sebagai solusinya. Hal ini tentu saja menyebabkan pemborosan anggaran. Bila masalah demikian mencapai hampir 75% penyelenggaraan pilkada maka dapat dibayangkan betapa besar biaya yang terbuang secara cuma-cuma.

KEBODOHAN DAN KEMISKINAN
Sebagaimana tertulis dalam Al-Quran, bahwa musuh umat manusia yang paling utama adalah kemiskinan dan kebodohan. Mereka yang miskin akan menjadi bodoh karena tak punya biaya untuk sekolah. Sementara mereka yang bodoh tentu tak bisa kaya karena tak mampu berpikir dan bersaing dalam mencari pekerjaan yang layak dan berpenghasilan besar. Dan, kebodohan mereka disebabkan karena kemiskinan. Begitu siklus itu berputar-putar bak lingkaran setan.

Begitupun dengan fenomena yang dihadapi oleh bangsa ini, tak terkecuali dalam kehidupan politiknya. Bangsa ini bisa jadi sebagian besar rakyatnya adalah bangsa yang tidak berpendidikan dan bodoh pula. Akibatnya, mereka tak mampu berpikir rasional kecuali memikirkan perutnya. Maka aktivitas politik pun menjadi bukan prioritas bagi mereka.

Ironisnya, fakta seperti ini justru menjadi peluang bagi para politisi. Dengan kekayaan dan uangnya yang banyak, para politisi ini melakukan politik uang untuk memenangkan pertarungan. Akibatnya, kegiatan politik Indonesia pun tak lepas dari persaingan mesin uang. Siapa punya uang lebih banyak, ia akan lebih berpeluang untuk memenangkan pertarungan. Caranya, ya itu tadi, membagi-bagikan uang kepada para calon pemilih, rakyat yang bodoh dan miskin itu tadi dengan syarat mereka harus menggunakan hak suaranya untuk memilih politisi yang telah memberi mereka uang, sembako, dll. !

KAYA DAN POPULER
Saat ini begitu banyak politisi muda usia, bodoh, yang tak tahu apa-apa, tapi memang mereka berasal dari keluarga kaya raya. Bayaran menjadi politisi di daerah tingkat II bisa jadi tidak seberapa, tapi dengan menjadi politisi mereka bisa semakin eksis, tidak hanya sekedar eksis sebagai orang kaya, tapi juga sebagai pejabat negara. Apalagi, mereka yang berhasil menjadi politisi di senayan atau pusat, bayarannya sungguh menggiurkan ! Tapi lihat tingkah polah mereka ! Tidur di kala sidang komisi, bertikai kala dengar pendapat, ricuh adu hantam kala paripurna ! Tak salah Gus Dur menyebut mereka taman kanak-kanak.

Sejumlah fenomena mengemuka bahwa menjadi politisi atau pejabat negara, entah sebagai pemimpin daerah maupun sebagai politisi partai kini menjadi sebuah gaya hidup para pesohor negeri ini. Berkarir sebagai politikus kini menjadi sebuah status sosial baru bergengsi yang diperebutkan banyak orang.

Kaya dan populer bila dimanfaatkan dengan baik tentu tak jadi soal. Namun, bila hanya bermodal kaya dan populer tanpa kemampuan, tanpa kompetensi, tanpa integritas, tanpa nasionalis, tanpa kepedulian, maka karir politik pun akhirnya kembali menjadi tunggangan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat. Sayangnya, politik memanglah demikian.

Memulai sebuah amanah tanpa kejujuran ya ... demikianlah buahnya. Sungguh berat menjadi orang jujur. Kejujuran adalah amanah bagi diri sendiri. Memang betul negara ini masih belajar menjadi dewasa dalam berpolitik. Namun, belajar bukan berarti menghambur-hamburkan kesalahan tanpa melakukan upaya meminimalisir kecurangan sejak awal. Liberalisasi politik pun akhirnya membuat keputusan ada pada 'pasar rakyat'. Tapi saat rakyat sudah dimanipulasi oleh uang, maka ... demikian inilah yang kita dapat ....

Monday 13 December 2010

AGENDA SETTING YOGYA

KONTROVERSINYA SEBUAH IDE
Di penghujung tahun 2010 ini, dunia persilatan politik Indonesia diramaikan oleh gunjang ganjing menyoal keistimewaan Yogyakarta oleh SBY. Singkat cerita, di awal Desember lalu SBY menyoal sistem pemerintahan DIY yang monarki dan dianggap tidak sesuai dengan asas demokrasi yang dianut bangsa ini. Judulnya, SBY menghendaki seyogyanya, Yogyakarta juga melakukan pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur seperti propinsi-propinsi lain di Indonesia.

Pasalnya, 'pemilihan' Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini dilakukan dengan cara penetapan dan bukan pemilihan. Mekanisme ini konon sudah berlangsung sejak lama di mana Sri Sultan dan Pakualam ditetapkan ssebagai kepala dan wakil kepala pemerintahan DIY tanpa pernah sedikitpun menimbulkan persoalan yang bersinggungan dengan pemerintah pusat. Pendek kata, walaupun pemerintahan di DIY dilakukan dengan cara penetapan dan bukan pemilihan tapi DIY selalu mendukung pemerintah pusat sepanjang kemerdekaannya, sejak proklamasi hingga saat ini.

Keruan saja, ide SBY itu menimbulkan banyak reaksi keras dari berbagai kalangan. Para budayawan Yogyakarta pun berkomentar pedas atas ide kontroversi SBY. SBY dianggap sebagai pemimpin bagai kacang yang lupa akan kulitnya, bahkan amnesia dan tidak tahu sejarah. Politisi senayan oposan partai biru pun berteriak lantang. Pada dasarnya kasus DIY tak berbeda dengan apa yang terjadi di DKI Jakarta. Bedanya, Kepala Dati 1 DKI dilakukan secara pemilu, sementara walikota di 5 wilayahnya dilakukan secara penetapan. Bedanya dengan DIY adalah Kepala Dati 1 nya ditetapkan sedangkan Kepala Dati 2 nya melalui pemilu. Jadi, sama saja toh ?

Sontak, niat hati SBY itu membuat suasana politik memanas. BJ. Habibie, Presiden ke-3 RI pun tak ayal ikut angkat bicara, dan menyayangkan ide SBY itu. Bahkan pemimpin adat tertinggi di Papua juga datang secara pribadi menghadap Sri Sultan sebagai raja, mengantarkan surat dukungan masyarakat Papua atas penetapan Sultan dan Pakualam menjadi kepala pemerintahan DIY.

SEJARAH YOGYA
Sejarah mencatat, bahwa pada masa revolusi, pemerintahan RI pernah dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta selama beberapa bulan. Selain itu, ada pula masanya para proklamator negara ini pun pernah dipenjara sehingga tentu mengalami kesulitan dalam menghidupi keluarganya. Pada saat seperti itulah, Keraton Yogyakarta mengambil alih situasi darurat itu, menghidupi para istri dan keluarga para proklamator dan tak terkecuali membiayai perang revolusi. Dalam pemberitaan sebuah surat kabar nasional dilangsir bahwa biaya tersebut mencapai 5 juta gulden setiap bulannya ! Karenanya, para budayawan itu secara sinis mengatakan, bila SBY bersikeras meminta DIY tetap melakukan pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernurnya yang nota bene selama ini diampuh oleh kedua raja di Yogyakarta, Kasultanan dan Pakualaman, maka sebaiknya pemerintah membayar hutang tersebut berikut bunganya terhitung sejak masa itu hingga hari ini ! Nah loh !

Sri Sultan dan Sri Pakualam Yogyakarta dan rakyatnya, konon merupakan komunitas pertama yang mengakui kemerdekaan RI dan menyatakan dukungannya sebagai bagian dari wilayah NKRI. Atas jasanya pada masa revolusi, Bung Karno, Presiden 1 RI, memberikan status istimewa itu kepada Yogyakarta.

Alm. Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX dulu pun pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Suharto. Pada masa itu, kedudukannya sebagai Gubernur DIY tetap diemban dan tidak ada masalah. Saat Suharto menghendaki beliau untuk kembali menjadi Wapres, Sri Sultan menolak, perbedaan prinsip dan kecintaannya pada masyarakat Yogya menjadi pertimbangan yang paling utama. Namun keputusan itu tidak mengurangi dukungannya pada pemerintah pusat.

Beberapa waktu lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-X sempat menyampaikan keinginannya untuk mundur sebagai Gubernur DIY. Keinginannya saat itu ditentang habis oleh masyarakat Yogya yang rela berjemur diri sebagai wujud protes khas mayarakat Jawa kepada rajanya. Hati Sri Sultan pun luluh, beliau membatalkan niatnya. Kini saat beliau sudah rela menjalankan kembali tugasnya yang sempat ingin beliau tinggalkan, tiba-tiba saja, SBY mengabarkan ide kontroversi itu. Yang membuat masyarakat Yogya semakin terluka adalah ide itu digulirkan di tengah-tengah rasa duka yang belum juga pulih yang dialami masyarakat Yogya setalah bencana erupsi Gunung Merapi. Kini, masyarakat Yogya pun siap referendum menantang ide SBY !

Yang menarik, setelah juru bicara presiden sempat melakukan upaya merespon reaksi yang memanas dan ramai di masyarakat, akhirnya SBY pun menyampaikan pidato 'klarifikasi' menyoal idenya itu. Yang mengejutkan, dalam pidatonya tersebut ternyata SBY tetap ngotot akan mengupayakan pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogayakarta ! Sebagai wujud 'rasa hornat'nya pada masa lalu, SBY mengusulkan kedudukan lebih tinggi bagi Sri Sultan dan Sri Pakualam yang mengurusi budaya Yogyakarta.

Bagi masyarakat awam, ide SBY itu tentu dianggap mengada-ada. Memberikan kedudukan lebih tinggi tanpa kekuasaan pemerintahan jelas melumpuhkan keberadaan Sri Sultan dan Sri Pakualam. Ekskalasi masalah pun semakin memuncak. Adik Sri Sultan pun akhirnya mengundurkan diri dari keanggotaannya dari partai biru besutan SBY diikuti sejumlah anggota yang lain. Alasannya jelas, sebagai keluarga Keraton Yogyakarta, adik Sri Sultan ini merasa tersinggung dengan ide yang digulirkan SBY.

AGENDA PUBLIK, AGENDA MEDIA DAN AGENDA ELIT
Dalam kaca mata teori komunikasi, isu keistimewaan Yogyakarta ini telah memnuhi kriteria terjadinya Teori Agenda Setting. Pertama, adanya isu. Kedua adanya pro dan kontra. Ketiga, adanya tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi opini leader, pembentuk opini. Dan tentu saja, ada media yang berperan memediasi dan menfasilitasi perkembangan isu tersebut.

Berdasarkan teori, saat sebuah isu muncul dan telah menjadi pembicaraan masayarakat, dan opini yang terbentuk melalui opini leader sudah mengarah kepada suatu agenda tertentu, di mana agenda publik tersebut juga telah menjadi agenda media, maka secara normatif, seharusnya agenda elit dan eksekutif adalah mengacu pada kedua agenda yang sudah ada sebelumnya, yaitu agenda publik dan agenda media.

Artinya, para eksekutif yang berkaitan dengan isu tersebut dalam pengambilan keputusannya akan mendasarkan diri pada kecenderungan yang muncul pada agenda publik dan agenda media. Karena apa yang muncul dalam agenda publik dan yang yang menjadi agenda media merupakan apa yang dibutuhkan oleh publik.

Dengan kata lain, bila melihat kecendrungan pemberitaan media masa saat ini, baik pada media cetak maupun media elektronik, secara kasar terlihat kecenderungan itu, bahwa masyarakat Yogyakarta menghendaki penetapan kepala pemerintahannya, yaitu Sri Sultan dan Sri Pakualam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Bila, eksekutif tidak membuat keputusan sesuai apa yang dikehendaki masyarakat, maka bisa jadi para eksekutif itulah yang tidak demokratis dan tidak ememiliki hati nurani. Keinginan masyarakat awam bisa jadi salah dan beresiko, tapi para tokoh masyarakat dan media massay merupakan kontrol. Artinya, keinginanan dan agenda publik telah disaring oleh mereka yang memilkiki obyektivitas sehingga dalam tahap ini, agenda publik terligitimasi oleh pendapat para opini leader dan media massa.

Nah, kalau secara ilmiah sudah terang benderang begini, bila para elit tetap tidak menetapkan agenda sesuai agenda publik dan agenda media, maka fakta itu akan menjadi sangat menarik bukan ?

'YURISPRUDENSI' AGENDA SETTING
Pada kasus pelecehan, penghinaan yang dilakukan Bupati Kampar kepada seorang guru Teladan Air Tiris, Riau, teori Agenda Setting membuktikan hal itu. Menteri Dalam Negeri akhirnya memutuskan untuk menonaktifkan Bupati Kampar, karena agenda publik dan agenda media menunjukkan kecenderungan ke arah itu. Lumpuhnya seluruh operasional kegiatan pemerintahan dan layanan publik se-Kabupaten Kampar selama lebih dari seminggu saat itu menunjukkan kuatnya agenda publik.

Masyarakat Yogya sebagai orang jawa yang terkenal halus, tentu punya cara tersendiri dalam menyampaikan aspirasinya. Salah satunya, dengan melakukan pengerekan bendera setengah tiang sebagai wujud kekecewaannya terhadap pemerintah pusat.

Namun sesungguhnya pada kasus seperti inilah masyarakat dapat menilai pemerintahannya.Sebagaimana modus operandi yang dilakukannya selama ini. Bila sebuah kasus tengah mengerucut panas, tiba-tiba masyarakat dialihkan dengan sebuah kasus yang lain. Seperti halnya semua kasus korupsi yang nyaris berakhir dengan klimaks yang sama, ditemukannya gembong teroris di mana pun tempatnya, secara tiba-tiba dan waktu yang kebetulan pas. Akibatnya, masyarakat pun lupa, teralihkan perhatiannya kepada masalah yang lain. Jadi, kita lihat saja akhir dari kisah ini, penetapan, pemilihankah atau jangan-jangan nanti ada gembong teroris tertangkap lagi, atau mungkin video panas lagi ? Selamat menanti !