Wednesday 4 May 2011

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN TINGGI
Sekitar dua hari lalu, sebuah rubrik harian nasional memuat tulisan seorang psikiater/psikolog (saya lupa persisnya) profesional yang berbagi mengenai temuannya berdasarkan fakta yang diperoleh dari sejumlah mahasiswa. Tanpa bermaksud mengungkapkan rahasia pasiennya, beliau sangat prihatin dengan fenomena yang ia temui hasil keluhan para mahsiswa tersebut.

Singkat cerita, ada sejumlah mahasiswa kedokteran yang mengeluhkan metode belajar yang di'ajar'kan oleh universitas tempat para mahasiswa ini belajar. Para mahasiswa kedokteran ini banyak diajar oleh para dosen 'terbang'. Alhasil karena jarak dan kesibukan yang mungkin menyulitkan, alhasil para mahasiswa ini banyak belajar secara telekonferens yang tentu banyak kendalanya sehingga menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak optimal.

Beliau pun mempertanyakan keseriusan berbagai pihak dalam memantau sejumlah perguruan tinggi swasta/negeri yang tampaknya selama ini kesulitan menyelenggarakan proses belajar mengajar yang layak bagi para mahasiswanya. Dengan kata lain, bia tidak mampu menyelenggarakan program studi kedokteran, ya jangan membuka rogram tersebut demi gengsi. Akibatnya, jangankan para calon pasien dari para calon dokter itu yang merasa ragu dan was-was dengan kemampuan para calon dokter tersebut, para mahasiswa calon dokter itu sendiri pun merasa tidak puas dengan ilmu yang mereka peroleh selama ini karena dianggap tidak optimal.

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN TINGGI BIDANG HUMAS
Tak berbeda jauh dengan yang terjadi pada program pendidikan kedokteran. Program pendidikan di bidang kehumasan pun sesungguhnya tak kalah memprihatinkan. Profesi Humas (PR) yang sangat menjanjikan di masa depan, membuat banyak perguruan tinggi kini berlomba-lomba membuka program atau jurusan humas di institusinya.

Namun itu tadi, dunia pendidikan kini telah berubah menjadi sebuah ajang bisnis belaka. Sejumlah perguruan tinggi bisa jadi hanya sibuk mengejar quota, jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya demi meraup keuntungan uang kuliah dan sebagainya. Namun mereka melupakan, bahkan mungkin mengabaikan bahwa mereka mempunya kewajiban untuk menjaga kualitas kelulusannya.

Indikasi menurunnya dunia pendidikan tinggi saat ini terlihat dari berbagai gejala, antara lain :
  1. Tes masuk perguruan tinggi yang relatif mudah dan hanya formalitas belaka;
  2. Periode waktu kuliah yang tidak sesuai dengan ketentuan DIKTI. Dalam hal ini ada perguruan tinggi yang menyelenggarakan kuliah tingkat sarjana dengan mekanisme semester pendek (1,5-2 bulan), sejak semester 1 hingga akhir menjadi sarjana untuk menyelesaikan sekitar 150-160 sks;
  3. Mekanisme penilaian yang ditentukan oleh perguruan tinggi lebih menekan pengajar (agar memberikan nilai baik) bukan kepada mahasiswa.  Artinya, mahasiswa tidak dibekali pengetahuan proses belajar mengajar termasuk mekanisme perolehan nilainya. Akibat metode yang tidak transparan seperti ini, maka terbukalah peluang untuk memberikan nilai secara manipulatif berjamaah yang harus dilakukan oleh para pengajar;
  4. Prosedur mata kuliah. Perguruan tinggi tidak lagi menetapkan ketentuan yang ketat perihal birokrasi mata kuliah yang menjadi prasyarat bagi mata kuliah lainnya yang lebih kompleks. Artinya, mahasiswa dapat menyusun mata kuliah sesuka hatinya tanpa mengawalinya dengan mata kuliah yang paling dasar. Akibatnya, terjadi gap pada proses belajar mengajar karena mahasiswa tidak menguasai ilmu yang disyaratkan sebelumnya;
  5. Tidak disiplin. Para mahasiswa tidak memiliki kewajiban untuk hadir di ruang belajar tepat waktu. Akibatnya mahasiswa merasa tetap berhak mengikuti proses belajar walau proses belajar akan berakhir; 
  6. Etika perguruan tinggi. Perguruan tinggi membiarkan mahasiswanya mengikuti proses belajar mengajar tanpa memperhatikan etika dan kesopanan. Hal ini terlihat pada gaya busana para mahasiswa yang tidak dapat membedakan gaya busana belajar dengan busana saat bermain;
Demikian realita yang terjadi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Hal ini masih diperparah dengan rendahnya kemampuan interaksi sosial dan minimnya wawasan para mahasiswa mengenai informasi yang berkembang saat ini yang relevan dengan dunianya, dunia pendidikan.

Tentu, hal ini menjadi sangat sulit bila tanpa disertai kerja keras pemerintah melalui DIKTI khususnya untuk mengawasi perkembangan dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Bila hal ini terus diabaikan, maka bisa jadi hanya orang-orang yang kaya namun bodoh saja yang bisa kuliah di negeri ini. Pertanyaannya, kalau begini, bila anda sakit maukah anda diperiksa oleh seorang dokter yang ternyata tidak pernah kuliah ?