Monday 28 December 2009

LUNA MAYA DI DUNIA MAYA

Kasus Prita belum lagi usai, kasus lain pun meruak tak kalah hebat. Serupa, tapi tak sama. Intinya, tetap menyoal kebebasan bicara dan berpendapat di dunia maya. Persoalannya, bagaimana memilah dunia maya ? Siapa bisa melarang aroma kentut berhenti berhembus di udara ? Begitulah dunia maya. "Semua" orang (pelaku) membutuhkan, tapi bagaimana kita bisa menghalangi dan mencegah pikiran setiap manusia yang berkepentingan di dalamnya ? Bukankah itu hal yang tak mungkin, bila manusia melarang manusia lain berpendapat dan berpikir. Namun, apakah hanya sampai di situ ?
  1. KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI; Secara, itulah yang disebut dengan kemajuan teknologi komunikasi, itulah yang disebut dengan globalisasi, maka rasanya nyaris muskil bila manusia mencoba menghentikan laju dan berjuta 'irisan' interaksi di dalamnya dengan berbagai konsekuensinya. Artinya, dalam era global saat ini, maka berhati-hatilah dalam memanfaatkan teknologi. Bila kita tidak pandai memanfaatkan teknologi, maka kita yang akan tergilas teknologi atau kemajuan jaman.

  2. GLOBALISASI ADALAH FILTER; Bila dicermati, globalisasi dalam hal ini adalah filter itu sendiri. Kemajuan teknologi dalam era globalisasi saat ini bukan lagi sarana, tapi penyaring itu sendiri, pencegah, yang juga dalam bentuk maya. Maka, sakit hati, reputasi, aib, privasi, dan semuanya yang lain menjadi konsekuensi. Jadi bila tidak mau menanggung konsekuensi globalisasi, berlakulah secara bijak dan jujur. Atau, bila memilih menjadi penjahat, maka jadilah penjahat yang paling ulung. Bila tidak, maka tanggunglah akibatnya, konsekuensi itu, sakit hati itu, reputasi itu, yang ternoda, tersingkap sedetil-detilnya, sejelas-jelasnya, secepat-cepatnya, melebihi siaran langsung penangkapan gembong teroris pada peak time jam siaran secara on air/on line ! Jadi, sesungguhnya filter itu bukan pada alatnya, tapi keselarasan hidup dalam era globalisasi secara bijaksana. Jadi, jagalah ucapan, sikap dan tindakan, apapun media yang dipilih untuk digunakan.

  3. FENOMENA ILMU KOMUNIKASI; Maka apa yang menarik dari curhat luna maya di twitternya ? Yang paling menarik adalah ternyata, tidak semua pelaku jurnalistik berpandangan sama. Oya, tentu selalu ada 2 (dua) sisi dalam kehidupan manusia. Namun dalam hal ini, munculnya berbagai masalah akibat interaksi dunia maya telah memberikan pembelajaran yang positif bagi pelaku teknologi komunikasi, khususnya pelaku jurnalistik.

  4. PENDEKATAN PENYELESAIAN; Setidaknya, berbeda dengan pelaku korporasi yang cenderung berpikir win-loose pada kasus prita, para pelaku jurnalistik jauh lebih obyektif dan berbesar hati untuk mulai memikirkan kembali kemungkinan adanya perubahan dalam dirinya. Mungkin, karena kasus luna terjadi di area industri komunikasi itu sendiri, maka dalam penyelesaiannya pendekatan yang dipilih jauh lebih relevan. Berbeda dengan kasus prita yang lebih didominasi dengan pendekatan hukum/legal yang kurang relevan dengan nuansa kasus yang sesungguhnya kental dengan aspek humas dan pelayanan.

  5. PENTINGNYA TEORI; Meminjam bahasa komunitas masyarakat NU, itulah pentingnya kembali ke kitah. Tak terkecuali dalam interaksi komunikasi. Maka mengembalikan kegiatan jurnalistik yang sudah melebar bentuknya ke mana-mana kepada pertanyaan mendasar sungguh bijak. Apakah masih pantas, bila kegiatan infotaintment tergolong pekerjaan jurnalistik yang sesungguhnya, sama dengan kuli disket pencari berita ? Persoalannya, seberapa banyak pelaku jurnalistik yang menguasai teori akan pekerjaannya sendiri ?

Setidaknya, kasus demi kasus menyoal teknologi komunikasi, industri media dan jurnalistik mengarah ke cara-cara yang lebih baik. Para pelaku lebih dewasa dalam bertindak. Kini, giliran masayarakat, seluruh pengguna teknologi komunikasi yang seharusnya lebih dewasa lagi dalam segala hal. Akankah masyarakat melulu menjadi obyek berbagai industri, khususnya media ? Seharusnya manusia adalah subyek, pelaku segala sesuatu. Namun, dibutuhkan kedewasaan dan kemampuan berpikir, mengolah serta mencerna segala hal yang kita hadapi ....



HUMAS INDONESIA

Secara, memikirkan masa depan humas rasanya kok suram sekali ya. Adapun wahana tentang itu pun tidak terlalu "menohok dalam" kiprahnya. Sebagaimana kecenderungan berbagai wahana sejenis, umumnya wahana tersebut tidak lebih dari media show off anggota tertentu ketimbang memberikan sesuatu yang hebat, mencerahkan, inovatif, konstruktif, dan progresif. Sebaliknya, selain sebagai ajang show off wahana seperti itu hanya sebagai sarana komunikasi yang ... sama sekali ga' penting dengan timpalan-timpalan yang remeh temeh serta sikap provokatif yang sensitif, laksana memancing di air keruh yang sesungguhnya tengah diupayakan menjadi jernih ....

Wuiiiih ... berat rasanya. Apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki semua ini ya ... ? Saya memandang, begitu semakin peliknya kondisi humas Indonesia, saat ini. Dari berbagai permasalahan yang saya temui sebagai praktisi maupun ilmuwan kehumasan, saya melihat sejumlah fenomena memprihatinkan, antara lain ...
  1. Rendahnya kesadaran; Betapa rendahnya kesadaran & pemahaman para pengguna jasa humas tentang keberadaan humas secara ilmiah & profesional. Buktinya ? Betapa banyak perusahaan yang merekrut SDM dengan latar belakang nyaris terserah, untuk posisi humas. Dari yang tingkat SMA sampai S2 bahkan mungkin S3 bisa jadi humas. Itu baru posisinya, belum bicara pekerjaannya. Giliran bicara pekerjaannya, maka dari pendamping karaoke hingga pialang saham pun dibilang itu PR, public relations alias humas. Oh, no !!!!

  2. Persaingan tak sehat; Kelanjutan dari problem pertama di atas, dampaknya kemudian adalah persaingan yang tak sehat. Apa buktinya ? Buktinya, terjadi gap yang sangat tajam antara humas manajerial dengan humas pelaksana. Tak peduli latar belakang akademisnya apa, selagi ijasah yang dimiliki itu made in abroaaaaad getooooh, langsung deh diciduk jadi manager. Even, she is only 25 years old, she'll get the position, as Head of Public Relations ! Perusahaan tak peduli lagi, apakah kriteria yang dimiliki sang kandidat relevan atau tidak. Apakah perusahaan membutuhkan pendekatan corporate PR atau marketing PR, perusahaan tak peduli, yang penting perusahaan punya PR lulusan luar negeri. Oh, my God !!!! Sementara para sarjana lokal, tak laku sebagai apa-apa. Dan pada level pelaksana, yang direkrut dari universitas kelas terdengar dan tak jelas rimbanya. Akibatnya, di antara keduanya, manager & staf ibarat jaka sembung bawa kambing. Ga' nyambung, mbek ... mbek ... Karena gap terlalu tajam. Perusahaan tak tahu, bahwa menjadi PR bukan cuman modal bahasa Inggris, mantan wartawan, tampang cakep doaaaank, tapi harus tahu strategi, konsep, riset, dan banyak lagi. Bagaimana ini ?

  3. Lemahnya komitmen pemerintah; Pemerintah, kontribusinya terhadap kemunduran humas di Indonesia bisa jadi paling besar. Pemerintah tidak memiliki regulasi cukup ketat yang menjamin hak akademisi komunikasi khusunya humas secara ilmiah dan profesional. Saya pun tak ingat lagi, apakah negara ini saat ini masih punya menteri penerangan atau tidak. Itulah bukti, pemerintah saja tidak mengelola informasi secara ilmiah & profesional. Adapun Depkominfo, 5 (lima) tahun terakhir sibuk dengan teknologi, yang nota bene merupakan tool/alat dalam berkomunikasi, bukan pada content komunikasi, yaitu pesan dan strategi yang seharusnya jauh lebih prioritas bagi negara & pemerintah saat ini. SKKNI Bidang Kehumasan yang telah dihasilkan pun ibarat lenyap ditelan bumi. Bahkan mencarinya dalam situs resmi depkominfo pun sulit ditemui ! Aneh tapi nyata !

  4. Ketidakkompakan/disintegrasi; Ini jauh lebih konyol lagi. Sudah situasi tidak mendukung seperti ini, para pelaku humas itu sendiri pun tidak kompak pula dan sibuk mencari posisi & membangun kubu masing-masing. Tak satu pun dari berbagai pihak itu berpikir secara damai dan mencari jalan keluar yang berguna bagi kemajuan bersama. Sangat memprihatinkan. Ibarat sejumlah gajah berperang, maka pelanduk pun mati di tengah-tengah. Begitulah nasib para insan humas kelas menengah di negara ini.

  5. Rendahnya kualitas; Ini dia, rendahnya kualitas semakin menggenapi betapa carut marutnya kondisi humas Indonesia selama ini. Tak tahu lagi saya, apakah ada standar kesamaan kurikulum materi pengajaran ilmu komunikasi khususnya humas di berbagai perguruan tinggi & universitas serta institut di seluruh negeri ini. Namun yang saya tahu, mahasiswa saat ini, menulis nama presidennya saja mereka tidak tahu ! Begitukah kualitas calon sarjana komunikasi, humas Indonesia saat ini, di atas 20 tahun, masih tak tahu pula bagaimana dan siapa presiden negara ini ? Apa yang akan diharapkan dari kualitas sarjana komunikasi seperti itu ?

  6. Obral ijasah akademis; Bila sebelumnya kegiatan jurnalistik telah berubah dan menjelma menjadi industri media yang mengaburkan fungsi jurnalistik sesungguhnya sebagai kontrol sosial dalam memberikan informasi, edukasi dan hiburan menjadi sebagai mesin pencari uang dan alat mencapai kekuasaaan, kini giliran lingkungan akademis yang melakukan hal serupa. Ikuti tren, komunikasi bakal menjadi booming, rekrut sebnyak mungkin, tak perlu saringan, ujian semudah mungkin, tak perlu hadir kuliah, dan surprise .... kamu lulus menjadi sarjana komunikasi dengan IP 3,3 ! Sebaliknya, para dosen ditekan sedemikian kuat untuk memberikan kemudahan semaksimal mungkin kepada siswa, berikan sedikit tugas, tawarkan ujian termudah, dan haram menidakluluskan siswa didik ! Belum lagi, ini dia, belum lagi, sistem pengajaran yang sangat luar biasa, di luar ketentuan lazimnya sistem perkuliahan yang ditentukan pemerintah. Ya ampyun ... apa-apaan ini ????

  7. Zero mind; Maka, jadilah kita semua para pelaku humas di Indonesia melanjutkan masa tidur panjangnya lagi, setelah berpuluh-puluh tahun tak sekali pun juga mengigau apalagi bermimpi kemudian bangun memikirkan dan berusaha membangun mimpinya. Rasanya hal itu benar-benar hanya mimpi itu sendiri. Muskil, absurd ....

Semoga, kondisi ini berakhir ....

Jadi, jangan berpikir apalagi bersikap ideal, maka kematian akan menjemputmu. Namun, sebaik-baiknya manusia yang dapat bertahan dalam kehidupan yang semakin tak normal adalah mereka yang tetap teguh dengan pendirian dan keimanan ....

Wednesday 16 December 2009

KISAH SI GENIE

Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang waktu ia tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar ia bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, “Dunia tidak akan pernah mengerti.”

Mungkin ia benar. Dunia tidak akan mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat membenci anaknya begitu sangat. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, demikian nama samaran gadis tersebut, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecilnya ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Kakak laki-laki Genie-lah akhirnya yang berusaha memberi makan dan minum. Itu pun sesuai perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakaknya dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut kepada ayahnya.

Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia satu tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, leinguis, neurolog dan mereka yang mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali keterampilan mengungkapkan pikirannya dalam bentuk lambang-lambang yang dipahami orang lain. Apakah kurangnya keterampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya ? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan ? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh ? Inilah di antara sekian banyak pertanyaan yang menyebabkan Susan Curtis, profesor linguistik di University of California, mencurahkan waktu tujuh tahun untuk meneliti Genie


(Pines, 1981, disadur dari buku “Psikologi Komunikasi, Drs. Jalaluddin Rakhmat, MSc. PT. Rosdakarya – Bandung, 2007, hal.1-2)

 
Demikianlah, fenomena semacam ini mungkin tanpa kita sadari banyak terjadi di sekeliling kita. Betapa banyak di antara kita membiarkan anak-anak dalam keluarga, pegawai dalam sebuah perusahaan, anggota dalam sebuah organisasi tumbuh dan berinteraksi dengan cara-cara yang tidak seharusnya. Tanpa disadari begitu banyak manusia menjadi semakin bodoh karena lingkungan menjadikannya demikian.
 
Otak manusia membutuhkan rangsang atau stimulasi agar dapat berfungsi semakin hebat dari waktu ke waktu sepanjang usia. Namun bila otak manusia tidak memperoleh apa yang dibutuhkannya, maka yang terjadi adalah seperti yang dialami Genie. Otaknya menjadi tumpul, kemampuannya jadi tidak sebagaimana mestinya ....

Mungkinkah kisah Si Genie ini terjadi dalam dunia kerja, khususnya dalam dunia kerja humas di Indonesia ? Berapa banyak praktisi humas yang mengalami kemunduran intelektual karena lingkungan kerja humas yang tidak kondusif ? Berapa banyak praktisi humas yang mengalami kemunduran intelektual & profesional akibat terkondisikan secara tersistem & sinergi seperti ini ?


Tidak satu pihak pun peduli akan kemajuan profesional, praktisi dan keberadaan PR di Indonesia. Tak banyak regulasi yang mendukung bagi kemajuan praktisi & profesional humas secara intelektual. Tak banyak dunia empiris/end user / institusi pengguna jasa humas yang berkomitmen serius dan mempertimbangkan serta mengutamakan intelektualitas komunikasi sebagai dasar profesi kehumasan. Tak banyak pula CEO atau Top Level Management yang mempunyai wawasan yang benar mengenai tugas, fungsi dan peran humas secara relevan, obyektif dan terukur. Tak banyak pula dunia akademis yang mengedapankan kualitas kelulusan, sebaliknya kelulusan sebagai formalitas bak menunggu arisan. Akibatnya, eksistensi humas Indonesia pun semakin terpuruk.




Betapa keberadaan humas Indonesia sangat dipengaruhi dan tergantung oleh banyak pihak agar dapat beranjak dari tempatnya saat ini, menjadi lebih maju, dan lebih dihargai oleh semua stakeholdernya. Semoga, catatan ini menjadi inspirasi semua pencinta dunia kehumasan ....

Wednesday 9 December 2009

PR di INDONESIA, HARI INI & NANTI

Akan sampai kapan para praktisi Humas meratapi, menangisi, atau menatap nanar masa depan dunia PR ?
  • Keterbatasan pemahaman CEO dunia empiris tentang profesi dan peran PR begitu menentukan peluang akan masa depan para praktisi / profesional humas dalam berkiprah di dunia kerja;
  • 'Pergerseran' profil PRO yang dibutuhkan dunia kerja berubah demikian ekstreemnya. Pada Top Level Management, dunia empiris benar-benar mengisyaratkan cap luar negeri yang dianggap layak dan mampu mengisi posisi strategis PR. Sementara pada tingkat pelaksana, dunia empiris membabi buta menentukan kriteria yang sangat tidak profesional, dan hanya sebatas ukuran fisik semata (tinggi badan, warna kulit, panjang rambut, ukuran pinggang, dst.);
  • Minimnya peran pemerintah. Tak banyak regulasi yang dihasilkan untuk mendukung agar para praktisi / profesional dapat memperoleh hak-hak intelektual & profesionalnya di dunia kerja;

Bayangkan saja, bila para praktisi / profesional PR yang notabene made in lokal selalu dikalahkan oleh mereka yang bersertifikasi import, maka persoalan profesi PR di Indonesia akan bak lingkaran setan atau benang kusut yang tiada akhir. Seharusnya, para intelektual lokal pun berhak mendapatkan porsinya. Namun masalahnya dunia empiris hanya menginginkan 2 (dua) kriteria, yaitu sophisticated & just nobody's.

Profesi PR berbeda dengan profesi non eksakta lainnya. Katakanlah bidang ekonomi, yang lapangan kerjanya relatif jauh lebih besar. Dan yang terpenting dalam hal ini, dunia emphiris relatif lebih memahami bahwa pekerjaan tertentu memang membutuhkan SDM yang sesuai secara intelektual dan akademis dengan bidang pekerjaan tsb.

Sementara dalam bidang PR, pandangan dunia empiris belumlah terbangun. Ironis sekali memang, para praktisi & profesional PR yang notabene mumpuni dalam hal komunikasi justru tidak berhasil mengkomunikasikan & memperjuangkan untuk masa depannya sendiri.

Siapa harus di-educate dalam hal ini ?

  1. Akademia, modal pasti. Akademia perlu diberi gambaran yang optimal tentang profesi PR secara menyeluruh dan terintegrasi. Baik secara konsep, praktis, etika hingga regulasi.
  2. Decision Maker/ pengambil keputusan dalam dunia empiris, penentu. Merekalah penentu nasib para praktisi & profesional PR hingga mereka mempunyai kesempatan berkiprah dalam bidang yang relevan secara intelektual & profesional. Hipotesisnya, semakin baik wawasan para pengambil keputusan tentang bidang PR, maka akan semakin terbukalah peluang bagi para praktisi/profesional PR dalam mengembangkan diri secara optimal & maksimal;
  3. Pemerintah, kekuatan law inforcement. Keberadaan PR mutlak membutuhkan peran Pemerintah dalam regulasi yang memberikan jaminan bagi para praktisi/profesional dalam memperoleh haknya, pekerjaan secara sesuai, relevan dan obyektif. Sebaliknya, pemerintah pula yang mempunyai peran besar dalam menghimbau dunia empiris secara institusional untuk menerapkan the right man on the right place pada posisi PR dengan mensyaratkan sertifikasi profesi bidang PR;
  4. Practioners & Professionals, indikator. Membangun komitmen bersama para praktisi / profesional yang telah in charge menjadi salah satu cara untuk mempercepat / akselerasi dalam memberikan peluang & hak PR secara intelektual.

Harus diakui, perkembangan PR di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Hampir selama dekade belakangan ini tidak ada kemajuan yang terlalu menggembirakan. Butuh kerja keras seluruh elemen agar keberadaan PR di Indonesia dapat berubah ke arah lebih baik. Akankah para praktisi/profesional PR Indonesia mampu dan mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkannya ?

Tuesday 1 December 2009

PR di INDONESIA

Sejak kemunculannya pertama kali sebagai sebuah profesi, keberadaan PR tidak bisa terlepas dari pengaruh dunia empiris. Pendek kata, perkembangan dan kemajuan profesi PR sangat dipengaruhi dunia empiris. Dan yang paling menarik dalam hal ini adalah, bahwa perkembangan profesi PR di Indonesia berlangsung sangat lambat dan memprihatinkan.

Kharakter dunia empiris yang digeluti oleh para profesional atau praktisi PR sangat mempengaruhi perkembangan kompetensi, wawasan dan pengetahuan para praktisi yang bersangkutan. Sederhananya, kondisi empiris tersebut mempengaruhi besaran perbandingan das sein dan das solen-nya (teori dan praktek-nya).

Hipotesisnya bisa jadi cenderung seperti ini : semakin baik pemahaman kondisi empiris tentang PR, maka semakin optimal para profesional PR bekerja. Konsekuensinya, maka kompetensi, wawasan dan pengetahuan para profesional PR pun semakin bertambah dan terbuka lebar.

Sebaliknya, ternyata hipotesis tersebut juga berpeluang menjadikan semakin terspesialisasinya para profesional PR sehingga membuat kompetensinya menjadi kurang komperehensif. Artinya, PR hanya menguasai melulu soal komunikasi dan PR. Padahal dalam dunia empiris, PR berkepentingan dengan banyak pihak sehingga membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang banyak hal.

Intinya, PR perlu menguasai soal bidang usaha yang digeluti perusahaan baik produk maupun prosesnya. Persoalannya, kala menduduki posisi yang lebih strategis maka cara pandang PR pun menjadi lebih luas dan multidimensi. Artinya, bisa jadi PR pun harus tahu soal keuangan, hukum, dll. Para profesional & praktisi PR yang berlatar belakang ilmu komunikasi tentu sudah dibekali dengan berbagai ilmu tersebut. Masalahnya, bagaimana dengan yang lainnya ?

Dunia PR sungguh menarik. Namun mengapa perkembangannya (di Indonesia) justru berbanding terbalik ? Di antara berbagai profesi berlatar belakang ilmu sosial, keberadaan PR terbilang sangat memprihatinkan. Perdebatan di antara para praktisi PR tentang keberadaaan PR yang tidak berkesudahan, sementara pemahaman dunia kerja terhadap profesi PR pun tidak kunjung membaik.

Belajar tiada henti tentang komunikasi dan PR pun akhirnya seperti tidak berarti, saat PR dihadapkan tentang banyaknya urusan dalam dunia kerja yang ternyata bisa jadi tidak dikuasai PR sama sekali, apalagi bila disandingkan dengan perkembangan dunia usaha dan teknologi komunikasi saat ini. Lalu, apakah PR masih punya arti ?

Tuesday 10 November 2009

WACTH OUT !

What a difficult being professional ! This is very serious problem, that professional public relations must be find the most suitable place (company, corporation, institution, etc.) to work. When they can't get suitable place to work, they will useless as a professional.

They can't match all the idea they have with the companys' vission because the company doesn't know well about public relations itself.

Wednesday 28 October 2009

KESALAHAN YANG SERING TERJADI DALAM MEMBUAT KUESIONER


  1. Kuesioner diperoleh dengan cara menyalin dari kuesioner yang dimiliki dan telah digunakan oleh instansi atau perusahaan lain. Cara pengadaan kuesioner seperti ini dapat berakibat ketidaksesuaian tujuan, instrumen, dan aspek-aspek penelitian yang akan digali;
  2. Penentuan parameter yang digunakan tidak relevan dengan permasalahan yang hendak digali. Contohnya, bila akan mengukur ketidakpuasan, gunakan parameter sangat puas, puas, netral, puas, sangat puas bukan sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju;
  3. Penentuan skala pada pilihan skor berjumlah genap. Dalam prosedur penelitian terdapat pilihan skala yang dapat digunakan dalam penyusunan kuesioner, antara lain menggunakan skala likert (5) atau skala semantik (7) dan keduanya berjumlah ganjil, ;
  4. Isian data responden ang diminta terlalu lengkap. Bila data responden terlalu lengkap dapat responden enggan/tidak mau melengkapi data responden bahkan mengosongkan semua data personal yang diminta. Responden, umumnya merasa khawatir dan tidak nyaman bila kejujurannya diketahui oleh pihak penyelenggara penelitian. Bila data responden tidak terisi, akibatnya data pengisian kuesioner justeru tidak dapat diolah karena data tidak dapat dipetakan. Yang terpenting adalah, bahwa profil responden yang diminta haruslah relevan, sesuai dengan kebutuhan penelitian;
  5. Petunjuk pengisian & informasi kegunaan penelitian tidak tersedia. Hal ini sangat mempengaruhi kesungguhan responden dalam mengisi kuesioner;
  6. Tidak dilakukan verifikasi. Tidak semua kuesioner yang telah terisi dan terkumpul dapat diolah menjadi data penelitian. Sesuai prosedur penelitian, data responden dan isian kuesoner yang tidak lengkap menyebabkan lembar kuesioner tidak dapat diolah dan harus diabaikan;
  7. Tidak tahu cara mengolah, membaca, menyimpulkan hasil penelitian. Ada beberapa metode ilmiah dalam pengolahan dan penyimpulan data. Jadi, hasil pengisian kuesioner tidak dapat diolah secara sembarangan namun harus sesuai prosedur yang telah ditentukan dalam metode yang diterapkan;
  8. Menyepelekan proses distribusi, pengisian & pengumpulan. Pendistribusian, pengisian dan pengumpulan kuesioner yang dilakukan secara salah, berpotensi menghasilkan kesimpulan yang tidak reliabel dan bias. Artinya, kesimpulan yang dihasilkan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena potensi terjadi penyimpangan selama proses penelitian;

Tuesday 20 October 2009

HOW TO BE A GOOD SPEAKER

It is not easy to be a good speaker. Let's say to be a master of ceremony, to be a lecturer, to be an anchor both in radio or television, to be orator, etc.
  1. Master of Cermony (MC), There are 2 (two) types of MC, they are : formal MC and informal MC. The formal one is more easier because at least you just read every session of program as a formal event has protocoler procedure that regulate it. The most important thing that you have to obey being a MC at formal event is, be polite, do not make any personal comment but just explain the crucial thing during the event and make the situation is understandable by the audience. Hence, you need to learn as much as you can about the program before you do your job. Find out what the program is, who the person in charge is, when it has/would be happen, what the achievement has already get it, etc. To make everybody respect you, wearing formal dress with ordinary color such as black tie.
  2. But for being MC in informal event, it is quite different. Informal event include birthday party, farewell party, reunion party, anniversary reception, informal weeding reception, music event, product launching, etc. You need to be more creative and talkative. The most difficult duty being a MC in informal event is you need to make everybody involve with your event ! Frankly speaking, to be an informal MC is more difficult than a formal MC. However, you have to make everybody enjoy your event, and it would not be an easly thing. Hence, you have to create interesting & funny games, simple role-play, surprise thing, doorprize, etc. Being an informal MC, you are able to create the program by yourself as it is your own ! You are the boss ! The event is depend on you ! But of course you have to discuss it with the owner of the program. Finally, you need to wear an extraordinary, extravagant dress to make everybody stare at you !
  3. To be a lecturer, absolutely there is requirement to be a lecturer, above of all is you need to know weel about the topic that you will teach ! Knowing every single student as long as you can, it would make them impressed to you ! Create a comfortable situation by doing discussion, group presentation, experiment, or playing games that inlvolve all the student ! The most important thing to be a lecturer is just trying to be fair. It means that you need to be an open mind person and should be fair to be criticized by the student. By the other hand, as some one who has bigger bargaining position and older, you have to emphasize and understand of the student psichologycally. Mostly lecturer prefer to do their job by sitting on their chair. Hence, the best thing you can do is just walking arround the class and doing two way communication to your student.
  4. To be an anchor. Well, it sound so good, but in fact these job is not really easy too to be done ! Similar with being MC, being anchor is also depend on the program you will be running of. The key is, be polite and behave is a must. If you have an opportunity to interview someone, you should be on the netral position. Moreover, you have to explore proportinaly at topic you are talking are, on the good side and on the bad side. Then, do not trying your sources depress caused of your question, you are not the judge, so do not pussh him. Furthermore, television is audiovisual media so that the audience are able to see the anchor and the situation bacground just in time. Hence, be careful with your dress especially if you have to report an out door live program. When you are talking, walking or doing anything during reportation, your clothes possibly look in a bad view (open by the wind, wet by the rain, etc). It's accindentaly, but anyway you still have to obey universal values in your area. When your body is not really slim, so please do not wearing a tight blouse or t-shirt.

Well, it's just a litlle note. Hopely it would be "something" for you !

Wednesday 30 September 2009

MEDIA KOMUNIKASI

Public Relations sebagai salah satu fungsi manajemen, memang berperan dalam melakukan komunikasi secara interakif atau 2 (dua) arah kepada kedua publiknya baik internal maupun eksternal. Dalam perannya tersebut, PR dapat melakukan komunikasi langsung tatap muka atau menggunakan media.

Media komunikasi yang dapat digunakan PR dalam menyampaikan pesan-pesannya sangat beragam. Selain itu, masing-masing media tersebut pun memiliki keunggulan masing-masing. Kuncinya adalah pada target yang hendak dicapai PR dalam berkomunikasi dengan publiknya. Artinya, setiap sasaran tertentu, membutuhkan media komunikasi dengan kharakteristik tertentu pula sehingga proses komunikasi dapat berlangsung lebih optimal.

Berikut ini adalah beberapa jenis media komunikasi yang umum digunakan PR dalam berkomunikasi, antara lain :
  1. Surat Kabar (eksternal), umumnya memiliki keunggulan dalam hal periodisitasnya yang relatif pendek. Artinya, surat kabar kebanyakan terbit harian, paling lama mingguan dengan format yang sangat beragam dan memuat banyak berita. Karena perioditasnya yang pendek, aktualitas yang ditawarkan surat kabar jauh lebih progresif ketimbang majalah;
  2. Majalah (eksternal & internal), sebaliknya majalah periodeistasnya paling pendek adalah mingguan, dua mingguan, bulanan, tri wulanan, bahkan ada pula yang semesteran atau tahunan. Dengan sifat kemunculannya yang lebuh panjang, tentu aktualitas yang ditawarkan majalah tidak sebaik surat kabar. Namun, majalah memiliki kekuatan dalam menyajikan informasi secara lebih mendalam, detil dan luas;
  3. Bulletin (eksternal & internal), kalau yang ini secara fisik bentuknya seperti majalah namun jumlah halamannya jauh lebih sedikit.
  4. News letter (internal), news letter bukan press release. News letter adalah bentuk media yang menyerupai tabloid dalam jumlah halaman yang lebih sedikit. Biasanya news letter ini dibuat dalam format 4-8 halaman dengan ukuran lebih kecil dari ukuran koran. Di sejumlah institusi, news release terbit secara mingguan atau dua mingguan. Sebagai media dengan format menyerupai surat kabar, kekuatan news letter pun relatif mirip dengan surat kabar yang ringan, ekonomis dan just in time dalam penyajian beritanya.
  5. Papan pengumuman (internal), media yang satu ini jelas tidak memiliki perioditas yang baku, karena papan pengumuman memiliki keuatan yang bersifat insidentil namun berlaku langsung secara masal dengan biaya yang sangat murah.

Nah, dari sejumlah media tersebut di atas tergolong media komunikasi konvensional. Saat ini dengan kemajuan teknologi, maka media konvensional pun tampil dalam bentuk virtual, antara lain :

  1. E-magazine, media jenis ini merupakan media konvensional yang juga dipublikasikan melalui jaringan virtual/internet. Jadi, beberapa perusahaan memberlakukan dua cara sekaligus, yaitu apa yang tercetak di media majalah konvensional, juga dapat diakses secara on line melalui electronic magazine. Namun tidak jarang pula perusahaan yang menerbitkan e-mag-nya sama sekali berbeda dengan majalah konvensionalnya. Dalam hal ini, tentu e-mag tidak lagi berfungsi sebagai penguat atau pelengkap, namun sebagai tersendiri dengan sajian informasi yang juga berbeda;
  2. Website, media ini umumnya tampil jauh lebih komplit dan tidak muncul layaknya media dengan rubrik yang khusus seperti dalam e-mag, tapi jauh lebih komplit hingga informasi penungjang lainnya seperti sejarah organisasi, produk dll. yang tidak ditampilkan dalam media konvensional lain pada umumnya;
  3. Blog, merupakan media virtual yang tampil melulu berupa kumpulan artikel. Dalam penaksesannya, blog jauh lebih sederhana dan memudahkan pembaca dalam mencari sumber informasi yang dibutuhkan;

Yang menarik di antara keuda jenis media tersebut di atas, ternyata hingga saat ini media konvensional tetap masih memiliki kekuatan tertentu dan menjadi acuan bagi para pelaku bisnis. Walaupun ada masanya sejumlah surat kabar internasional mengalami gulung tikar dengan booming perkembangan media on line, namun tetap media konvensional memiliki kekuatan tersendiri dalam menguasai waktu yang tidak dimiliki oleh media on line.

Tuesday 15 September 2009

AUDIT HUMAS

Audit Humas merupakan salah satu dari 4 (empat) macam riset dasar kehumasan. Audit Humas adalah sebuah prosedur penelitian kehumasan yang bertujuan untuk menggambarkan citra organisasi melalui kegiatan tertentu.

Secara sederhana Audit Humas dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Tujuan : deskriptif. Artinya, penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan citra organisasi secara khusus melalui kegiatan yang digelar oleh organisasi. Baik kegiatan humas internal maupun eksternal, keduanya dapat dilakukan audit humas. Contoh kegiatan humas yang dapat diaudit antara lain tea morning briefing. open house, visiting factory, press tour, press conference, training, seminar, dll.
  2. Pendekatan : kuantitatif. Metode Audit Humas merupakan sebuah riset yang relatif sederhana namun hasilnya sangat spesifik dan dapat menjangkau banyak hal dalam pengukuran. Sebagai sebuah penelitian kuantitatif, maka audit humas akan memanfaatkan sistem tabulasi dan penghitungan statistik. Saat ini, kedua hal tersebut tidak lagi menjadi hal merepotkan karena sudah terdapat program yang khusus diperuntukan bagi kebutuhan penelitian semacam itu, yaitu SPSS. Atau, bila masih dalam jumlah yang sedikit masih dapat dilakukan dengan menggunakan program Ms.Excel.
  3. Sampling : random. Salah satu ciri sebuah penelitian kuantitatif adalah pada teknik sampling yang dilakukan secara acak. Secara spesifik bagaimana mengacaknya, tergantung kharakteristik populasinya. Bila populasinya cenderung homogen, maka dapat menggunakan simple random sampling, dengan jumlah yang relatif sedikit. Namun bila populasinya semakin heterogen dalam arti memiliki kharakteristik beragam dan kualifikasi berjenjang maka bisa jadi yang dibutuhkan adalah stratifikasi random sampling, dengan jumlah yang lebih banyak.
  4. Instrument : Closed Question - Quetioner. Penelitian Audit Humas menggunakan instrumen lembar kuesioner yang berisi pertanyaan untuk dinilai oleh responden dalam bentuk pilihan skor 1, 2, 3, dst.
  5. Skala : Semantik (7). Skala penilaian dalam Audit Humas menggunakan skala semantik, yaitu dimulai dari nilai 1 hingga 7, dengan diawali 1 pada posisi paling kanan menuju 7 di sisi paling kiri.
  6. Based Theory : Wimmer & Dominick.

Monday 14 September 2009

HUMAS dalam PRAKTEK

Humas dalam praktek, pada perkembangannya khususnya di Indonesia sungguh menunjukkan fenomena yang menarik. Lebih dari lima belas tahun mempelajari dan menekuni profesi humas, secara profesional saya menilai bahwa profesi humas berkembang relatif tidak menggembirakan.

Pasalnya, selama hampir 2 (dua) dekade profesi humas masih saja dipahami secara tidak seragam secara baik oleh dunia kerja. Artinya, selama ini profesi humas terkesan disepelekan atau dianggap sebagai profesi yang berurusan dengan seremonial belaka.

Humas sebagai salah satu fungsi manajemen nyaris jarang ditemui secara jamak di berbagai perusahaan, organisasi atau instansi. Hal tersebut terlihat dari sejumlah fenomena berikut ini :
  1. Banyaknya lowongan pekerjaan bagi humas yang tidak mengsyaratkan kriteria dengan kualifikasi akademis sesuai dan kompetensi yang sesuai/memadai;

  2. Banyaknya posisi humas baik pada tingkat staf maupun manajerial yang masih menjadi satu dengan berbagai posisi lainnya seperti marketing, personalia atau hukum;

  3. Di berbagai perusahaan yang sangat spesifik, posisi humas justru diisi oleh SDM yang sama sekali tidak memiliki relevansi bidang pekerjaan kehumasan. Sebaliknya, posisi humas diisi oleh SDM dengan latar belakang spesifik sesuai bisnis utama organisasi yang bersangkutan seperti insinyur bahkan dokter di sejumlah rumah sakit;

  4. SKKNI Bidang Kehumasan yang disusun Depkominfo dan diterbitkan oleh pemerintah dalam hal ini Depnakertrans masih memuat banyak kompromi sehubungan dengan profesi kehumasan;
  5. Masih banyak unit kerja humas yang keberadaannya jauh dari pucuk pimpinan sehingga kewenangannya terbatas dan proses pengambilan keputusan pun menjadi lama;

  6. Kiprah organisasi profesi humas masih sayup-sayup dan kalah jauh dibandingkan berbagai organisasi profesi yang lain;

  7. Terbatasnya wawasan manajemen puncak tentang humas menyebabkan humas kesulitan dalam mengoptimalkan kinerja dan produktivitasnya karena keterbatasan kewenangan;

  8. Lemahnya penguasaan riset oleh para profesional humas.

Berbagai fenomena itulah yang menjadikan perkembangan profesi humas di Indonesia selama ini begitu memprihatinkan. Sebagai profesi yang relatif baru bergerak dalam 2 (dua) dasawarsa belakangan ini, maka rasanya profesi humas baru akan mengalami transformasi setelah melalui proses seleksi alam yang alamiah.

Artinya dalam 2 (dua) dekade belakangan ini profesi humas ditekuni oleh para praktisi yang berbekal pengalaman belaka dan tidak memiliki bekal akademis yang sesuai. Hanya saja, mereka memiliki keunggulan sebagai public figure dan kelebihan itulah yang menjadi modal mereka dalam bekerja dan dianggap cukup.

Beralihnya waktu, niscaya masa itu akan berakhir dan tiba saatnya para profesional yang sebenarnya dapat menekuni profesi humas secara lebih ideal dan profesional. Namun tentu akan lebih indah lagi bila reposisi itu dapat dilakukan lebih cepat bukan ? Anda setuju ?

SURVEY KEPUASAN PEGAWAI

Survey kepuasan pegawai, sesungguhnya merupakan salah satu penelitian yang sarat muatan menarik. Pasalnya, begitu jamak kita mendengar pegawai yang tidak merasa betah di perusahaan tempatnya bekerja selama ini. Namun, sedikit sekali perusahaan yang mempunyai kesadaran untuk mencari tahu dan peduli dengan apa yang dirasakan oleh para pegawainya. Dalam hal ini, perusahaan menganggap pegawai lebih sebagai obyek yang dikenai pekerjaan dan bukan sebagai subyek yang merupakan aset penting perusahaan.

Survey kepuasan pegawai itu sendiri pada dasarnya bukanlah sebuah penelitian yang sederhana. Namun, kadang dalam prakteknya perusahaan cenderung ingin mengabaikan prosedur penelitian khususnya yang disyaratkan dalam penelitian survey. Umumnya, orang menganggap sebuah survey identik dengan kuesioner, maka dibuatlah lembar kuesioner. Namun bagaimana reliabilitas dan validitas kuesioner itu, tidak diperhatikan.

Bahwa sebuah sebagai sebuah metode penelitian, maka ada beberapa hal yang harus dipatuhi dalam melakukan sebuah survey, antara lain :
  1. Landasan Teori. Apapun metode penelitian yang dilakukan, tetap membutuhkan landasan teori. Penelitian yang tidak melandaskan pada sebuah teori, tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun sebuah penelitian itu bertujuan untuk merumuskan teori baru, tentu tetap memiliki sebuah teori sebagai acuan;
  2. Populasi, Sampel & Sampling. Pada hakekatnya penelitian survey merupakan proses perolehan data dengan cara keterwakilan populasi ke dalam sejumlah sampel yang disebut responden. Teknik penentuan sampel dari populasi itu sendiri disebut sampling. Bila menghendaki penelitian yang mengenai seluruh populasi maka disebut sensus, bukan lagi survey;
  3. Instrumen penelitian. Survey dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Pada prakteknya, kuesioner dapat diisi secara langsung oleh responden atau kuesioner dibacakan dan diisi oleh interviewer kepada responden. Dalam kasus ini biasanya terjadi pada survey yang mengambil sampel berbeda bahasa atau usia lanjut;
  4. Variabel penelitian. Khususnya survey kepuasan pegawai, dapat berupa penelitian yang hanya menggali kepuasan pegawai pada pekerjaannya itu sendiri, atau dapat pula menghububungkan variabel kepuasan kerja dengan berbagai variabel relevan yang lain seperti motivasi kerja, iklim komunikasi atau budaya organisasi;
  5. Uji instrumen. Bila survey kepuasan pegawai dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel, maka perlu dilakukan uji instrumen terhadap kuesioner. Untuk pengujian tersebut, terdapat rumusan tertentu yang juga menjadi syarat dan wajib dipatuhi sebagai satu rangkaian dalam sebuah prosedur penelitian.

Demikian hal-ihwal mengenai survey kepuasan pegawai. Yang terpenting sebelum melakukan sebuah penelitian, pahami terlebih dulu kebutuhan yang akan dicapai paska dilakukannya sebuah survey. Latar belakang sebuah penelitian akan menentukan landasan teori yang relevan yang akan digunakan dalam penelitian tersebut. Selamat men-survey !

Friday 11 September 2009

TERNYATA "LANJUTKAN"

Alhamduillah, ternyata menyoal "laksanakan" dan "lanjutkan" dalam prosesi upacara detik-detik proklamasi kemerdekaan RI ke-64, 17 Agustus 2009 lalu, telah memiliki regulasi yang sesuai.

Hal itu diatur dalam Buku Peraturan tentang Tata Upacara Militer Tentara Nasional Indonesia yang disahkan dengan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/292/IX/2004 tanggal 6 September 2004. Pada buku tersebut, khususnya BAB XIX, Pasal 114 (Ketentuan Pelaksanaan Upacara Hari Proklamasi dan Upacara 17 Agustus), Point “a. 3) b) (4)”, halaman 189, baris 31 dan 32 tertulis ”Irup memerintahkan: “Lanjutkan”, Danup mengulangi: “Lanjutkan”, kemudian balik kanan dan kembali ke tempat semula dengan langkah biasa” (Baca komentar denmasgirang, 8 September 2009)

Artinya, ya ... sudah jelaslah kalau begitu. Hanya saja, apakah menurut sudut pandang lingusitik atau kebahasaan pemilihan kata "lanjutkan" sudah tepat, relevan dan rasional ? Menarik sekali, sebab manusia seringkali khilaf menetapkan sesuatu yang kurang tepat atau keliru sebagai hal yang berlandaskan hukum. Apalagi, Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki penjelasan cukup lugas yang membedakan di antara kedua kata tersebut, "laksanakan" dan "lanjutkan".

Dan ternyata, selama ini ketentuan tersebut memang menggunakan kata "laksanakan". Rupanya telah terjadi perubahan dalam ketentuan tersebut, setidaknya sejak tahun 2004.

Senangnya belajar .... Terima kasih banyak denmasgirang masukannya ... !

Tuesday 1 September 2009

TRANSFORMASI, REFORMASI dan KOMUNIKASI

Dalam era pasar global saat ini, banyak organisasi atau perusahaan yang melakukan pembenahan atau konsolidasi internal. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu langkah strategis manajemen dalam menyikapi dan mensiasati iklim pasar global yang semakin ketat dan sengit dalam persaingan. Transformasi, maka menjadi sebuah kata yang belakangan ini menjadi begitu akrab di berbagai kalangan, khususnya dunia usaha.

Yang menarik dari wabah transformasi saat ini, yang banyak melakukannya justru perusahaan, institusi, badan-badan pemerintah. Sebut saja, Perum Peruri, BUMN ini tergolong pionir alias pelopor yang mencanangkan transformasi sejak kuartal pertama 2008. Tak lama kemudian & hanya berselang bulan, Pertamina - perusahaan minyak plat merah ini juga melakukan transformasi. Sebagai BUMN besar, transformasi Pertamina jauh lebih terpublikasi media. Berikutnya, adalah POLRI yang juga melakukan transformasi. Pada hari pencanangannnya POLRI melakukan publikasi cukup intens selama beberapa hari.

Berikutnya adalah PT. Angkasa Pura, tampaknya juga melakukan hal serupa. Gebrakan PT. Angkasa Pura dalam bertransformasi juga cukup terprogram dengan baik melalui publikasi media. Namun konon kabarnya, Indosat adalah perusahaan yang jauh lebih dulu melakukan transformasi, saat masih berbentuk BUMN. Transformasi Indosat pun dilakukan sebagai salah satu langkah strategis dalam menghadapi pasar global, khususnya saat Indosat dihadapkan pada kenyataan untuk berbagi SLI dengan operator telekomunikasi lainnya di Indonesia.

Sesungguhnya, apakah yang dimaksud dengan transformasi ? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :

trans·for·ma·si n 1 perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb): Asia Tenggara diliputi suasana transisi dan -- akibat kemenangan mereka; terjemahan puisi yg baik kerap kali menuntut -- secara besar-besaran; 2 Ling perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dng menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya; men·trans·for·ma·si·kan v 1 mengubah rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb); mengalihkan: Pemerintah berhasil ~ benteng itu menjadi objek pariwisata; 2 Ling mengubah struktur dasar menjadi struktur lahir dng menerapkan kaidah transformasi

re·for·ma·si /réformasi/ n perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dl suatu masyarakat atau negara; -- ekonomi perubahan secara drastis untuk perbaikan ekonomi dl suatu masyarakat atau negara: perdana menteri yg baru telah menyapu kalangan oposisi dan memberikan serangan telak dng -- ekonomi; -- hukum perubahan secara drastis untuk perbaikan dl bidang hukum dl suatu masyarakat atau negara; -- politik perubahan secara drastis untuk perbaikan dl bidang politik dl suatu masyarakat atau negara

Bila mengamati makna transformasi, maka transformasi mengandung pengertian adanya suatu proses perubahan dalam sebuah organisasi yang bisa jadi meliputi bentuk, sifat, fungsi, dsb. atau bahkan mungkin semuanya. Persoalannya, bagaimana sebuah transformasi dapat berlangsung dan terwujud sebagaimana yang diharapkan ?

Sementara reformasi adalah perubahan yang lebih mengenai suatu perbaikan sistem dalam suatu komuniktas yang lebih besar yaitu masyarakat atau negara. Hal-hal yang dikenai perubahan dalam reformasi pun lebih pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak dan ineraksinya.

Membandingkan kedua kata tersebut, maka transformasi dan reformasi sama-sama memiliki makna perubahan, namun keduanya memiliki tujuan atau sasaran yang berbeda.

Berdasarkan obeservasi dan pengalaman, sebuah proses transformasi merupakan sebuah proses besar dan tidak sederhana apalagi mudah. Ada banyak hal yang mempengaruhi keberhasilan sebuah proses transformasi hingga mencapai hasilnya. Secara sederhana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan proses transformasi, antara lain :

  1. Alasan yang kuat. Tentulah sebuah motif yang dapat mendorong sebuah tindakan. Semakin fantastis sebuah motif maka akan semakin besar menimbulkan dorongan dan adrenalin bagi semua pihak yang berkepentingan dengan proses transformasi itu sendiri.
  2. Komitmen top level management. Manajemen puncak adalah pihak yang memiliki otoritas sekaligus tanggung jawab yang dapat menjamin kemungkinan dan peluang berlangsungnya sebuah proses baru yang mengenai seluruh bagian dalam organisasi. Kesungguhan manajemen puncak sangat mempengaruhi secara psikologis bagi kekuatan & semangat setiap lapisan di bawahnya.
  3. Program. Cita-cita memerlukan tujuan dan perencanaan yang matang, jelas, terarah, fokus, sistematis dan terukur. Program yang rasional sangat membantu semua pihak dalam menyelesaikan tanggung jawabnya masing-masing secara obyektif, terukur dan bersinergi.
  4. Keterlibatan. Transformasi adalah sebuah proses besar yang mengenai banyak pihak. Maka semua orang yang ada dalam sebuah organisasi adalah bertindak sebagai pelaku, bukan obyek. Maka, seyogyanya sebuah proses transformasi memberikan peluang secara proporsional bagi semua pihak dalam menentukan masa depannya secara dewasa & rasional.
  5. Sosialisasi. Sebuah proses yang membutuhkan keterlibatan semua pihak tanpa terkecuali tentu membutuhkan sosialisasi yang sesuai. Artinya, setiap pergerakan, tahapan dan perubahan terinformasi dengan baik di antara seluruh pihak. Sosialisasi secara konvensional dengan sosialisasi menggunakan media tentu menimbulkan efek yang tidak sama. Karenanya, sangat penting menentukan pola sosialisasi yang sesusai dengan kebutuhan organisasi untuk memuluskan proses transformasi.
  6. Anggaran. Ketersediaan biaya menjadi unsur yang cukup mempengaruhi kesukesesan sebuah proses transformasi. Biaya, sangat diperlukan sejak awal proses hingga realisasi program transformasi. Tanpa anggaran yang relevan, tentulah sebuah proses transformasi hanya menjadi beban banyak pihak.
  7. Agen Perubahan. Sekelompok agen perubahan dapat bermanfaat dalam melakukan akselerasi dan penyelarasan proses transformasi secara menyeluruh. Namun, keberadaan agen perubahan pun harus dimulai dengan penerimaan yang positif oleh mayoritas populasi. Bila keberadaan agen perubahan diawali dengan proses yang tidak tepat justru akan menimbulkan kontra produktif dengan tujuan dan cita-cita tarnsformasi yang sesungguhnya.
  8. Budaya Organisasi. Kharakter sebuah organisasi menjadi salah satu unsur yang perlu diperhatikan secara ekstra bila organisasi akan melakukan proses transformasi. Inti sebuah proses transfromasi adalah perubahan. Maka perubahan tersebut akan berhadapan dengan budaya organisasi. Artinya, penyesuaian budaya organisasi sesuai dengan tujuan transformasi yang hendak dicapai penting diupayakan sebagai langkah paling awal.

    Transformasi, adalah sebuah proses yang mentargetkan sebuah kondisi akhir dengan adanya perubahan bentuk, sifat, atau fungsi dari sebuah organisasi. Artinya, dalam pandangan ilmu komunikasi maka proses transformasi mensyaratkan komunikasi yang berdampak pada perilaku (behaviour). Persoalannya, perubahan perilaku tidak akan tercapai bila dampak secara kognisi (pengetahuan) dan afeksi (sikap) belum terpenuhi. Kesimpulannya, sebuah proses transformasi mensyaratkan komunikasi yang menyeluruh yang perlu dilakukan secara bertahap dan terencana dengan baik.

    Pada prakteknya, bisa jadi peranan penting komunikasi dalam proses transformasi seringkali terabaikan. Akibatnya, proses transformasi tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan.

    Ironisnya, sebuah proses transformasi yang pada awalnya merupakan sebuah cita-cita yang mulia bagi perbaikan seluruh organisasi bila tidak berhasil berjalan mulus, maka akan menimbulkan resiko yang sangat serius. Proses transformasi yang tidak berjalan mulus sangat rentan terhadap timbulnya banyak hal negatif antara lain :
    1. Munculnya para oportunis, oposan sekaligus para pemain status quo.
    2. Timbul banyak korban, baik para pegawai secara individual, maupun para top level management secara korporat/instituasional, akibat menurunnya tingkat kepercayaan publik.
    3. Kembalinya iklim & budaya organisasi yang lama menjadi cenderung lebih kuat dari sebelumnya, karena faktor pembuktian, keberhasilan proses transformasi yang tidak tercapai.

Monday 24 August 2009

LAKSANAKAN atau LANJUTKAN ?

Dalam prosesi upacara bendera peringatan detik-detik kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64 pada hari Senin, 17 Agustus 2009 lalu terjadi satu perubahan yang unik. Selama ini, dalam setiap prosesi upacara bendera seorang komandan upacara akan melaporkan diri kepada inspektur upacara bahwa upacara siap untuk dilaksanakan. Menanggapi laporan komandan upacara, lazimnya sang inspektur upacara akan menjawab "laksanakan".

Namun, dalam prosesi upacara kenegaraan peringatan detik-detik kemerdekaan RI yang ke-64 pada hari Senin, 17 Agustus 2009 lalu, saat komandan upacara melaporkan diri, sang inspektur upacara menjawabnya dengan "lanjutkan."

Apakah itu sebuah ketidasengajaan atau memang telah terjadi perubahan ? Pasalnya, bila menilik makna kata "laksanakan" dan "lanjutkan" keduanya sungguh memiliki makna yang berbeda.

"Laksanakan" terdiri dari kata dasar laksana dengan akhiran "an". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "melaksanakan" berarti :

me·lak·sa·na·kan v 1 memperbandingkan; menyamakan dng: ia ~ lukisannya dng lukisan gurunya; 2 melakukan; menjalankan; mengerjakan (rancangan, keputusan, dsb): ia mengetahui teorinya, tetapi tidak dapat ~ nya; ia ~ tugasnya dng baik;

Sementara kata "lanjutkan" terdiri dari kata "lanjut" dengan akhiran "an". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "melanjutkan" berarti :

me·lan·jut·kan v 1 meneruskan (tt perkataan, perundingan, cerita, dsb); menyambung: mereka akan ~ pembicaraan itu minggu depan; 2 mempertinggi: krn ketiadaan biaya, dia tidak mampu ~ pendidikan anaknya ke sekolah yg lebih tinggi;

Pendek kata, secara etimologi kata "laksanakan" antara lain memiliki makna yang menjelaskan suatu keadaan yang belum terjadi untuk dilakukan. Sementara kata "lanjutkan" antara lain memiliki makna yang menjelaskan bahwa suatu keadaan telah berlangsung dan untuk diteruskan atau terus dilakukan.

Jadi, dalam konteks ini yaitu pelaksanaan upacara bendera kenegaraan, kata mana yang seharusnya lebih tepat dan relevan digunakan ya ? Ataukan ini sebuah gejala "penyederhanaan" dan "pengabaian", sebuah etika berkomunikasi dalam ranah politik yang sesungguhnya bisa jadi sangat prinsip ? Atau bahkan memang itulah bentuk nyata dari komunikasi politik itu sendiri ?

POSITIF-nya FACEBOOK ?

Seorang sahabat sekampung halaman yang terus terang jarang telepon walaupun rumah kita berdekatan, sesekali menelepon biasanya cuma untuk satu hal, menanyakan bila saya mengenal seseorang yang kebetulan satu alumni dengan saya saat SMA. Menanggapi kebiasaaannya yang satu ini, saya biasanya langsung bisa menebak, "Mesti kenalan nang facebook, kiyeh ..." Kontan, sang sahabat tertawa berderai-derai karena tebakan saya tepat mengenai sasaran.

Seperti biasa pula saya pun berkomentar tentang keheranan saya kenapa ia begitu gemar berfacebook-ria, karena menurut saya manfaat facebook tidak lebih dari untuk bersenang-senang saja sementara di sisi lain berpeluang bikin masalah. Tanpa saya duga, rupanya sang sahabat membuat sebuah pengakuan, bahwa sejak ia rajin berfacebook ria kebiasaannya keluyuran malam jadi jauh berkurang sehingga katanya sekarang suaminya semakin senang karena ia jadi semakin sering rumah.

Ternyata, ada juga hal positif yang ditimbulkan dari aktivitas keranjingan facebook. Tapiiiii, apa iya itu menjadi sebuah hal yang positif ? Karena ... komunikasi dengan media tidak sama dengan komunikasi langsung (tanpa media). Walau keduanya sama-sama merupakan komunikasi personal, tapi sifatnya sungguh berbeda. Bisa jadi ini adalah sebuah fenomena, bahwa manusia semakin ... merasa nyaman dengan kehidupannya sendiri, dan cenderung menjadi manusia hedonis yang mulai meninggalkan 'ritual-ritual' tradisional atau bersosialisasi dengan lingkungan melalui berbagai macam kegiatan macam arisan dan kumpul warga yang tentu lebih interaktif dan apa adanya. Keunggulan komunikasi langsung antara lain adalah bahwa masing-masing orang dapat mengetahui reaksi lawan biacara secara langsung, baik dari intonasi suaranya, gerak-geriknya, bahas tubuhnya, mimik wajahnya bahkan reaksi spontannya manakala mereka berbohong. Hal itu semua tidak mungkin terlihat saat manusia berkomunikasi melalui media bukan, bahkan dalam media facebook yang just in time sekalipun ....

Bagaimana menurut anda ?

Saturday 8 August 2009

PRITA BERDAMAI dengan OMNI

Wah, ini sebuah cerita atiklimaks. Akhirnya, Prita berdamai dengan Rumah Sakit OMNI, Rumah Sakit OMNI berdamai dengan PRITA. Keduanya sepakat mencabut segala urusan hukum dan pengadilan sehubungan dengan pertikaian keduanya beberapa waktu yang lalu soal pencemaran nama baik.

Sebelumnya, Prita sempat dalam posisi yang tidak punya bargaining lantaran pengadilan negeri/tinggi Tangerang membatalkan amar putusannya soal pembebasan Prita. Akibatnya, Prita pun kembali cuti bekerja karena mungkin Prita dianggap kembali harus menjalani tahanan kota. Prita yang berdomisili di Bintaro, Tangerang Selatan tidak bisa bekerja karena kantornya berada di Jakarta.

Kembali lagi, peran media sungguh besar dalam perjalanan kasus Prita vs OMNI ini. Betapa besar peran media dalam membantu penyelesaian kasus Prita. Karena publisitas media, Prita memperoleh simpati publik. Karena publisitas media pula, pihak Rumah Sakit OMNI, Pengadilan Negeri, juga Pengadilan Tinggi mendapat tekanan media sekaligus publik. Akibatnya, kelompok elit pun turun tangan sehingga kasus Prita segera mendapat penanganan dan berakhir dengan pembebasan yang berlangsung lumayan dramatis.

Saat kasus itu kembali menunjukkan kecenderungan ekskalasinya, kelompok elit pun buru-buru ambil jalan pintas. Kelompok elit dalam hal ini Pemda (Walikota) Tangerang berperan sebagai pihak ketiga, fasilitator, penengah, arbitrer di antara keduanya. Jadilah kelompok elit sebagai juru damai. Jadilah kedua pihak yang bersengketa sepakat mencabut segala urusannya di pengadilan dan memilih berdamai secara kekeluargaan. Maka awal Agustus lalu kisah pun berahir.

Kasus Prita vs Rumah Sakit OMNI merupakan contoh nyata bagaimana media sangat berperan dalam mempengaruhi porses pengambilan keputusan yang diambil oleh kelompok elit. Dengan keterlibatan media dalam mendorong terciptanya proses pemunculan pro dan kontra dari kelompok publik, media berhasil membawa agendanya sehingga mempengaruhi agenda publik dan agenda elit. Maka, kasus ini pun akhirnya terselesaikan dengan baik, berdamai.

FENOMENA MBAH SURIP

Keberadaan Mbah Surip sejak kemunculannya hingga akhir hayatnya sungguh fenomenal. Seseorang terdekat selalu saja bertanya, "Ada fenomena apakah sehubungan dengan keberadaan Mba Surip yang begitu terkenal dengan sangat cepat di seantero Indonesia ?"

Mbah Surip memang telah berpulang pada Selasa, 4 Agustus 2009 lalu. Satu hal yang sangat menggelitik adalah, kehadiran Mbah Surip (almarhum) dalam kehidupan showbiz tergolong biasa saja dengan 'jualannya' namun, popularitas yang diakibatkan oleh jualannya yang biasa saja itu sungguh luar biasa, melampaui ketenaran artis-artis yang terjun di dunia hiburan sebelumnya.

Dunia hiburan umumnya identik dengan keindahan, cantik atau tampan, disertai kualitas hasil karya yang fenomenal. Namun belakang muncul fenomena anyar, bahwa modal untuk terjun ke dunia hiburan bukan lagi soal keindahan, kecantikan dan ketampanan melainkan justru kondisi sebaliknya. Artinya, saat ini justru banyak pekerja seni yang ... maaf, tidak cantik, tidak ganteng, tidak seksi, tidak putih. Hal-hal yang tidak biasa itulah yang menjadi nilai lebih mereka.

Kembali lagi ke Mbah Surip, untuk sebagian besar para pekerja seni yang memulai kiprah berkesenian sejak lama, sosok Mbah Surip ternyata bukan orang baru. Mbah Surip rupanya sosok yang telah lama berkarya jauh hari dan tahun sebelum lagunya "Tak Gendhong" populer belum lama ini.

Mbah Surip ternyata banyak diketahui masyarakat seringkali nongkrong di seputaran Bulungan, Jakarta Selatan sejak bertahun-tahun lalu. Maka tek heran, pada akhir hayatnya pun ternyata Mbah Surip berada di kediaman salah satu pemain ketoprak humor, Mamik Prakoso dan dimakamkan di pemakaman Bengkel Theater di Depok milik WS. Rendra, penyair ulung, yang 3 (tiga) hari kemudian juga berpulang, pada hari Kamis malam, 6 Agustus 2009.

Lagu "Tak Gendhong" Mbah Surip, tergolong biasa saja, musikalitasnya juga biasa saja, sementara sosok Mbah Surip ya jelas sudah tua ... tidak seperti artis-artis pada umumnya yang menjual ketampanan atau kecantikannya. Pembawaannya ... ini dia ... begitu eksentrik, begitupun penampilannya dengan rambut gembelnya yang regae abis ... !!!

Maka, saat publik dikenalkan dengan sosok Mbah Surip yang muncul belum lama ini lalu tiba-tiba dikagetkan dengan berita kematiannya tentulah membuat sosok beliau tidak saja fenomenal tapi sekaligus kontroversial . Pasalnya, belum habis masyarakat terheran-heran dengan kehadirannya yang fenomenal, tiba-tiba sosoknya sudah berpulang. Jadilah, perilaku media pun semakin ... melengkapi fenomena itu. Berita kematian Mbah Surip diliput secara live, on the spot dan eksklusif oleh salah satu televisi swasta lebih dari 3 (tiga) jam dalam semalam ! Stasiun tersebut melakukan pemberitaan sejak kematiannya hingga prosesi pernikahan putrinya di depan jenazah dan upacara pemakamannya. Berita tumpahnya air mata dan tangis Megawati di sidang Mahkamah Konstitusi memprotes proses berlangsungnya hajat besar republik ini pada pileg & pilpress lalu pun lenyap bak ditelan bumi !

Begitulah perkembangan industri media yang mampu menciptakan hal yang pada dasarnya biasa saja, namun mampu diterima oleh publiknya ! Media mampu menciptakan opini publiknya sehingga tidak sekedar tahu dan kenal Mbah Surip, tapi juga bersikap positif terhadap kehadiran Mbah Surip, bahkan membeli kaset, menyanyikan lagu, dan berpenampilan, bersikap, dan tertawa lantang layaknya Mbah Surip ! Haahaahahaaaa ... !

Bayangkan, coba bayangkan ... bila kemampuan media massa yang sangat luar biasa ini disalahgunakan untuk menyampaikan informasi yang tidak bermanfaat atau bahkan provokatif ! Atau sederhananya, coba bayangkan, bila media massa tidak lagi memiliki idealisme dan mengabaikan tugas dan fungsi yang sebenarnya dalam melakukan kegiatan informasi, edukasi dan rekreasi ? Bukankah akibat yang akan ditimbulkannya akan sangat fatal bagi kemashalatan orang banyak ?

Coba perhatikan terpaan media massa saat ini, betapa banyak media massa yang melakukan fungsi menghibur tapi tidak mendidik dengan menyajikan sinetron yang menampilkan anak yang berani kepada orang tua, mertua yang kejam kepada menantunya, suami yang sadis kepada istrinya, dst. Padahal, media elektronik seperti televisi yang audiovisual memiliki kekuatan luar biasa dalam mempengaruhi perilaku masyarakat. Karena dengan menonton tv yang dilengakapi dengan cerita dan bergambar tidak memerlukan upaya apa-apa untuk memahami pesan yang disampaikannya. Semua begitu jelas dan lugas dalam sajian televisi.

Maka, bagaimana kebijakan politik sebuah pemerintahan suatu negara akan sangat mempengaruhi kebijakan bagi media massa dalam berkarya. Dengan dalih reformasi, kecenderungan pasar bebas ditambah kemajuan teknologi informasi saat ini versus tingkat kematangan masyarakat, kesiapan ekonomi dan kerawanan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh sebagian besar bangsa ini, maka inilah yang kita hadapi saat ini.

Jadi, apapun yang disajikan oleh media massa dan tersaji di hadapan masyarakat, berkualitas atau tidak berkualitas, masyarakat akan menelan semua informasi itu bulat-bulat tanpa menyaringnya lagi, karena bekal untuk itu tidak ada. Bila pendidikan rendah, maka kemampuan menganalisis dan menyaring segala sesuatu yang diterimanya pun akan rendah. Lama kelamaan apa yang disaksikan diterimanya akan terinternalisasi dan dianggap sebagai nilai-nilai baru yang layak dianut. Hasilnya, para remaja Indonesia tidak ragu lagi mengenakan pakaian super seksi ke manapun mereka pergi ....

Monday 6 July 2009

DEBAT CAPRES 3

Debat Capres ketiga adalah debat capres terakhir. Berbeda dengan acara debat capres 1 dan 2, acara debat capres ketiga dikemas jauh lebih menghibur dengan pertunjukkan lagu kebangsaan Indonesai Raya yang dinyanyikan bersama oleh seluruh hadirin dan nyanyian lagu-lagu nasional pada sesudahnya dan di penghujung acara. Berikut, hasil pengamatan berlangsungnya acara debat capres ketiga :
  1. Tema, NKRI, Demokrasi & Otonomi Daerah. Sebagai sebuah strategi, upaya menyuguhkan dan melibatkan langsung para hadirin dalam rangkaian acara yaitu menyanyikan lagu kebangsaan jelas sangat membantu terciptanya suasana yang sesuai dengan tema kali ini, NKRI, Demokrasi & Otonomi Daerah. Setidaknya, daya tarik penonton terhadap acara berhasil dibangun sejak awal secara terkendali. Mengapa ? Karena dalam acara seformal atau sepenting itu, seorang dewasa tentu tidak akan menyanyikan lagu kebangsaan dengan tidak hormat atau penuh khidmat.

  2. Tempat, Balai Sarbini, Semanggi, Jakarta Selatan

  3. Pembawa Acara, narator, sama seperti debat capres kedua

  4. Moderator, Prof. DR. Pratikno, Dekan Fisip Universitas Gajah Mada. Sebelum memulai acara, moderator memanggil satu persatu para kandidat dan menyambut kehadiran ketiganya secara personal di ujung tangga. Setelah ketiganya menempati podium masing2, moderator kembali menyapa secara personal ketiganya sebagai ice-breaking atau bahkan sekedar basa-basi. Cara ini, khas cara menyambut dan menyapa orang jawa kepada para tamunya, hangat dan bersahabat.

  5. Perturan, sama.

  6. Sesi, pemaparan visi, pelontaran satu pertanyaan oleh moderator kepada salah seorang kandidat lalu disanggah oleh kandidat lainnya lalu akan dikomentari kembali oleh kandidat yang menjawab, penutup

  7. Waktu, sama

  8. Podium, lebih luas dan terkesan lebih menghibur, didisain seperti acara entertainment (hiburan). Dengan podium yang jauh lebih besar, lebih nyaman, lebih bernuansa menghibur, ternyata membawa pengaruh jauh lebih baik dibandingkan dengan debat capres sebelum-sebelumnya. Dampaknya, tentu para kandidat pun menjadi jauh lebih santai dan lebih interaktif satu sama lain. Perdebatan pun jauh lebih mengalir.

Kembali, bila membandingkan antara acara debat capres 1, 2 dan ketiga, ternyata hal paling mencolok hanyalah perkara tema, sesi, moderator dan podium.

Soal tema, tentulah harus berbeda karena acara ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman para kandidat tentang permasalahan yang menyoal tema yang ada. Sesi, sejak debat kedua sesi relatif tidak berubah lagi hingga debat ketiga.

Artinya, yang membuat debat capres menjadi lebih menarik dari debat pertama, kedua dan ketiga bisa jadi karena dipengaruhi oleh moderator dan kondisi podium. Namun, bila kita membandingkan acara debat capres ini dengan kegiatan serupa yang menjadi pemanasan dan diselenggarakan di berbagai stasiun tv secara mandiri ada suatu gejala yang sangat unik.

Dalam acara tersebut, para kandidat dibiarkan berdiri begitu saja, tanpa meja podium dan harus berhadapan dengan sejumlah profesional dari berbagai bidang. Tapi yang sangat menarik adalah, bagaimana pun situasi podium didisain, tetap saja acara tersebut berlangsung hidup, menarik dan sangat menghibur. Setidaknya jauh lebih menarik dibandingkan acara debat capres.

Itu artinya, bisa jadi yang mempengaruhi menarik tidaknya acara debat capres selama ini hanyalah soal siapa yang memimpin, memoderasi, atau membawakan acara tersebut. Berdasarkan pengamatan pada berbagai acara pemanasan sebelumnnya, acara dipandu oleh para anchor profesional. Sebagai profesional, tentu mereka mampu mencairkan suasana sekaligus menggali banyak informasi para kandidat. Namun, pada intinya adalah bahwa para pembawa acara mampu menciptakan suasana yang nyaman tidak saja bagi kandidat namun juga bagi para penanya dan penonton maupun pemirsa.

Pada acara debat capres ketiga atau terakhir, acara dimoderatori oleh seorang dekan fisip. Pada akhir acara saat ketiga kandidat dimintai komentar mengenai jalannya acara debat, ketiganya menyatakan puas. Tentu, membutuhkan pembuktian ilmiah untuk memastikan adanya korelasi nyata antara latar belakang pendidikan dengan kemampuan moderator dalam menghidupkan suasana. Jadi artinya, itu hanya masalah kemampuan personal softskill masing2 moderator. Dan setidaknya, acara debat capres ketiga telah mendapatkan penilaian positif dari ketiga kandidat.

Jadi, mungkinkah keberhasilan acara debat capres sangat dipengaruhi oleh kemampuan personal softskill moderator pada masing-masing acara yang dipandunya ? Bila seadainya begitu, tentu bukan hal yang mudah mencari seorang moderator kompeten yang sesuai dengan kebutuhan baik secara keilmuan maupun secara entertain dalam arti kemampuan berkomunikasi personal. Kalau hal itu dipersoalkan, bisa-bisa mencari kandidat moderator debat capres bisa jadi sebuah sesi tersendiri yang semakin memusingkan proses pilpres. Coba anda bayangkan, masa untuk pilpres KPU harus menyelenggarakan juga moderator idol sih ? 'Kan ga' lucu ... Wuekekek ... bagaimana menurut anda ?


DEBAT CAPRES 2

Debat Capres putaran kedua terbilang memiliki perbedaan yang mencolok. Setidaknya, moderatornya kali ini adalah seorang perempuan. Ini bukan masalah gender. Tapi, demikianlah fakta hasil pengamatan yang ditemui selama debat capres kedua berlangsung.
  1. Tema, Pengentasan Kemisikinan & Pengangguran
  2. Tempat, Metro TV
  3. Pembawa Acara, narator. Tidak ada pembawa acara yang membuka acara sebagaimana acara sebelumnya. Acara dibuka melalui suara narator disertai dengan kehadiran sang moderator.
  4. Moderator, Aviliani, pengamat ekonomi dan keuangan perbankan, ketua jurusan manajemen Universitas Paramadina. Keberadaan seorang moderator yang seorang perempuan tentu membawa atmosfer tersendiri selama acara debat berlangsung. Situasi jauh lebih hangat dan tidak sekaku atau seformal acara debat capres pertama.
  5. Peraturan, sama
  6. Sesi, terdiri dari 3 bagian, yaitu pemaparan visi, menjawab 4 pertanyaan, saling berdebat (pertanyaan dari moderator), plus pengantar (penutup)
  7. Waktu, Visi (7 menit), lain-lain 1-2 menit
  8. Podium, meja podium berbahan transparan (mika) yang dibuat tidak terlalu tinggi jelas menimbulkan efek psikologis berbeda dibandingkan dengan podium berbahan kayu yang digunakan sebelumnya. Dengan demikian, bahasa tubuh para kandidat pun terlihat lebih jelas sehingga jarak psikologis antara para kandidat dengan para pemirsanya baik di studio maupun di rumah dapat lebih diminimalisir.
  9. Time Monitor, Lantai podium kali ini dilengkapi oleh layar monitor yang menunjukkan waktu yang menghitung mundur sehingga sangat membantu pada kandidat dalam memanfaatkan waktu seacara efektif.

Secara umum, debat capres putaran kedua relatif lebih baik dari acara debat caprest putaran pertama. Sosok moderator yang seorang perempuan jelas menjadi nilai lebih tersendiri. Pada umumnya sosok perempuan, secara manusiawi perempuan jelas memiliki daya tarik tersendiri yang jauh lebih besar dan kemampuan berinteraksi lebih baik dibandingkan laki-laki. Maka adalah sangat wajar bila moderator kali ini lebih mampu mencairkan suasana, dengan tetap santun.

Perubahan situasi podium bagaimana pun juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Podium yang didisain lebih nyaman, tentu mempengaruhi para pengguna di atasnya, termasuk meja podium. Maka sangat manusiawi pula bila pada debat capres kali ini para kandidat pun menjadi lebih santai dan menikmati jalannya acara sehingga perdebatan pun lebih mengalir.

Jarak area lantai podium dengan para penonton di studio pun tidak lagi terlalu jauh. Maka para kandidat pun tidak terlihat seperti pesakitan yang tengah menghadapi persidangan.

Mungkin apa yang berbeda pada debat capres kedua terhitung tidak terlalu besar, karena hanya menyangkut perbaikan dan penambahan perlengkapan atau fasilitas area podium. Selain itu, tentu hanyalah soal jenis kelamin moderator. Namun, perubahan kecil tersebut ternyata mampu menghadirkan perbedaan yang sangat nyata dibandingkan acara serupa sebelumnya.

Mengapa acara perdebatan para capres begitu banyak menimbulkan kritikan, karena ... selama ini dalam acara pemanasan pemaparan visi para capres yang disiarkan oleh hampir seluruh stasiun televisi secara mandiri terbilang sangat menarik. Dan tentu, pembawa acaranya sebagian besar adalah perempuan yang notabene adalah juga para pembawa berita atau acara talkshow di masing2 stasiun tv dengan segala kompetensi profesinya. Maka, wajar bila penonton mempertanyakan kualitas acara debat capres yang dianggap tidak mampu menyuguhkan greget yang sebagaimana biasa mereka tonton selama ini.

DEBAT CAPRES 1

KPU menyelenggarakan acara debat capres dan cawapress dalam rangka pilres RI langsung kedua yang akan digelar pada 8 Juli 2009. Tujuan acara ini tentu untuk mengkomunikasikan visi, misi, program kerja sekaligus memperkenalkan kompetensi para pasangan capres dan cawapres kepada masyarakat. Acara debat capres diselenggarakan dalam 3 (tiga) putaran, sementara debat cawapres 2 (dua) putaran. Berarti ada 5 (lima) acara debat yang semuanya ditayangkan secara langsung oleh sejumlah stasiun televisi sebagai tempat berlangsungnya acara, secara bergantian.
  1. Tema, Stretegi Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang Bersih dan Penegakan Supremasi Hukum

  2. Tempat, stasiun tv trans corp, mampang, Jakarta Selatan.

  3. Pembawa Acara, Helmi Yahya, sang pembawa acara berhasil menghidupkan suasana dengan kepiawaiannya dalam melakukan ice-breaking dengan audiensnya di studio.

  4. Moderator, Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina. Sebagai seorang akademisi di bidang ekonomi, politik, dan kebijakan publik, kompetensi beliau tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun pembawaanya yang kalem dan santun rupanya sangat mempengaruhi proses berlangsungnya debat sehingga menjadi terasa sangat formal dan ... monoton, kaku, membosankan, berat, atau apa ya ?

  5. Peraturan, dilarang bertepuk tangan hingga diperkenankan. Akibatnya, acara kian terkesan penuh dengan protokoler.

  6. Sesi, Pemaparan visi, pendalaman, diskusi dan penutup.

  7. Waktu, pemaparan visi, pendalaman, diskusi dan penutup masing-masing 2 (dua) menit. Alokasi untuk mendebat 1-1 1/2 menit.

  8. Podium, kondisi podium didisain sedemikian rupa sehingga semakin mengesankan acara debat ini lebih seperti acara pidato dan menjadikan para capres sebagai pesakitan. Disain podium berbahan kayu yang kokoh dan menutupi fisik para capres, semakin menciptakan jarak antara kandidat dengan audiensnya.

Nah, berdasarkan pengamatan tersebut di atas, maka wajarlah bila acara debat capres pertama ini dinilai kurang menarik oleh sejumlah pihak. Target acara sebagai sebuah tontonan debat tidak terwujud sehingga belum mampu memuaskan para pemirsanya.

Monday 29 June 2009

TEORI AGENDA SETTING, Studi Kasus : Prita Mulyasari

Prita Mulyasari dinyatakan bebas, maka drama kasus facebook Prita pun berakhir, happy ending, bisa jadi nyaris persis, atau bahkan memenuhi sebagian besar harapan masyarakat.

Kasus penahanan Prita akibat curhatannya di facebook menjadi contoh kasus menarik yang menggambarkan bagaimana mekanisme teori Agenda Setting terjadi.
  1. Agenda Media. Kasus Prita bermula dari ekspos media mengenai penahanan yang dialaminya akibat curhatannya di media virtual, facebook. Pangkal permasalahannya adalah ketidakpuasan Prita dengan pelayanan sebuah rumah sakit int'l di tangerang. Singkat cerita, prita pun curhat dengan sepuluh orang temannya di facebook. Sampai di sini, curhatan Prita sebenarnya tidak ada bedanya saat seseorang berbagi pengalaman betapa enaknya makan soto jakarta di bilangan barito, jakarta selatan. Persoalan menyeruak saat curhatan Prita ternyata diteruskan oleh kesepuluh temannya, dan secara cepat terus menyebar hingga diketahui oleh pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit semakin merasa dirugikan karena konon kabarnya curhatan Prita juga diteruskan dan terbaca oleh sekelompok pengguna facebook yang juga merupakan pelanggan utama (VVIP customer) rumah sakit tersebut. Akhirnya, Prita pun dijebloskan ke penjara, stelah sebelumnya dianggap tidak kooperatif dalam penyelesaian kasus ini dengan pihak rumah sakit. Prita, yang juga seorang ibu dari 2 (dua) anak balita, tentu menjadi berita yang punya news value tinggi bagi media. Maka, media pun mengagendakan kasus Prita ini sebagai pemberitaan utamanya.
  2. Agenda Publik. Begitu kasus Prita terekspos di media dan diketahui khalayak luas, publik pun bereaksi. Muncullah pro dan kontra. Tak terkecuali para calon presiden yang sedang berkampanye pun menjadikan derita Prita ini sebagai tunggangan politik. Maka sebagai akibatnya, kasus Prita semakin cepat bergulir, ekskalasi kasusnya pun berkembang sangat cepat. Akibatnya, berbagai pro dan kontra yang muncul dan pemberitaan media pun termasuk media virtual di mana Prita curhat yaitu facebook, menjadi pressure besar bagi berbagai pihak yang menyebabkan Prita berada di balik jeruji besi, baik kejaksaan, rumah sakit, maupun pengadilan bahkan kepolisian ! Sejumlah dukungan yang berpihak kepada Prita bermunculan. Hasilnya, Prita pun berhasil keluar dari penjara dan menjalani tahanan kota. Itu pun, masih terus menimbulkan pro dan kontra. Hasilnya, persidangan Prita pun digelar relatif cepat dari lazimnya penanganan kasus pada umumnya.
  3. Agenda Elit/Eksekutif. Mau tidak mau, tekanan publik dari berbagai kalangan baik dari masyarakat maupun para key person yang begitu besar akhirnya mempengaruhi para agenda eksekutif. Mereka pun akhirnya mengagendakan kasus Prita sebagai kasus yang harus diselesaikan dengan segera. Dan, bukan tidak mungkin, bahkan sebaliknya, bisa jadi tekanan publik yang begitu besar ini akhirnya mempengaruhi para elit mengambil keputusan sebagaimana fenomena yang tampak, bahwa publik menghendaki Prita bebas. Maka hasilnya, Prita pun bebas sesuai dengan agenda publik.

Demikianlah sebuah contoh kasus yang nyata bagaimana agenda media mampu mempengaruhi agenda publik dan akhirnya mempengaruhi agenda elit dalam pengambilan keputusan. Namun, kasus Prita ini menjadi sangat berbeda dan menarik karena di luar mekanisme Teori Agenda Setting, kasus Prita terinteverensi variabel lain, yaitu kondisi politik Indonesia yang tengah menghadapi pemilihan presiden. Kenyataannya, semua capres sama-sama merespon dan melakukan tindakan terhadap kasus Prita. Megawati langsung menyambangi Prita di rutan khusus wanita di Tangerang, Jusuf Kalla langsung memerintahkan kejaksaan dan Kapolri untuk mengusut ulang Kasus Prita, begitupun SBY melakukan tindakan yang pada intinya menjadikan kasus Prita ini sebagai jualan. Kini, Prita bahkan sudah menjadi juru kampanye Megawati di berbagai kesempatan. Menarik sekali bukan ?

Bila tidak ada interverensi para kandidat Capres, mungkin kasus Prita tidak akan bergulir secepat ini. Bila kasus Prita ini terjadi bukan di tengah-tengah masa kampanye pemilihan presiden, apakah akan sama nasib Prita seperti yang ia peroleh sekarang dengan kebebasannya ? Bila kasus ini terjadi di masa biasa di mana tidak terjadi agenda besar politik saat ini, apakah akan sama Teori Agenda Setting bekerja ?

Wednesday 17 June 2009

KERANJINGAN FACEBOOK

Dulu, waktu pertama kali 'belajar' soal facebook, terasa benar kalau media ini sangat menarik, karena ... interaktif. Tapi ... seminggu, dua minggu dijalani ... ternyata fb bikin 'addict' ! Kalau sudah begini, jelas ... ga' sehat. Apalagi setelah diamat-amati, gejalanya ... ternyata fb lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Makanya, sebelum berbahaya, segera saya tinggalkan. Hanya nice to know saja dan digunakan bila diperlukan.

Berdasarkan gejala yang ada, dari ratusan orang yang menjadi teman, mayoritas informasi yang hilir mudik dalam fb cuma cerita-cerita yang asli ga' penting. Bahkan kalau boleh jujur, tidak jarang banyak pula informasi yang sifatnya have fun atau istilah anak muda jaman sekarang "seru-seruan ajah ..." bahkan ada juha yang 'riya' alias pamer doank. Sementara informasi yang penting ga' seberapa banyak frekuensinya.

Frekuensi pengguna fb dalam memanfaatkan media itu antara hal-hal yang penting dengan hal-hal yang tidak penting pun dengan sendirinya dapat terlihat jelas dengan mengamati kualitas informasi yang hilir mudik itu tadi. Ironisnya, logikanya maka kondisi itulah yang lebih banyak menimbulkan addict di para pengguna fb. Kini, bahkan ada 'group' dalam fb yang mengundang para pengguna fb untuk bergabung dalam kelompok 'addict' yang tingkat ketagihannya mencapai lebih dari 70%. Itu kan' ajakan yang tidak bermanfaat dan hanya pembodohan masal belaka ? Sadis ya ?

Gejala lainnya, seorang pengguna fb yang tengah terjebak facebook addict, terpaksa mengisi pulsa hampir satu juta rupiah kurang dari sebulan karena selalu mencoba on line melalui telepon seluler miliknya. Tidak kalah sadis, orang yang bisa bertemu alias kopi darat karena memanfaatkan fb, ternyata cuma disia-sia teman lamanya, lantaran sang teman sanantiasa on line melalui smartphonenya sepanjang pertemuan mereka. Seorang ayah pun dihardik sang anak lantaran terlalu sibuk berfb. Sebuah arisan keluarga yang berhasil dipertemukan melalui fb juga terancam dibubarkan oleh sosok yang dituakan karena mayoritas anggota keluarga sibuk berfb sepanjang waktu arisan. Konyol sekali bukan ?

Makanya, tak heran bila MUI mengklaim haram penggunaan fb. Karena kita belum mampu menggunakan media virtual dan turunannya secara bijaksana. Persoalannya, sebagai media yang memanfaatkan media virtual, fb sangat mengandalkan pengawasan melekat di diri masing-masing penggunanya. Bila kesadaran individu masih sangat rendah, akibatnya sang pengguna pun tidak menyadari bahwa dirinya tengah terjebak fb. Parahnya lagi, sang pengguna pun tidak tahu dan tidak bisa mengenali nilai lebih dan kekurangan sebuah media. Akibatnya, kembali lagi terjebak dan terus terjebak.

Sesungguhnya fb dapat dimanfaarkan secara optimal dan dapat menjadi efektif bila tepat penggunaanya. Karena sifatnya yang interaktif, fb sangat berguna misalnya untuk mempertemukan keluarga yang tercerai berai, juga sebagai salah satu media dalam strategi pemasaran. Fb juga efektif untuk menshare informasi yang penting (misalnya kematian, sakit, rapat mendadak, menggalang dukungan-ingat kasus prita, kampanye) langsung ke banyak orang. Selain contoh-contoh sederhana itu, masih banyak kegunaan fb yang lain. Tapi masalahnya, tidak semua pengguna fb berkepentingan seperti itu bukan ? Selain itu adalah hak azasi masing-masing orang mau menggunakan harta bendanya sebagai apa. Nah kalau sudah begini ukurannya kan ya repot.

Masalahnya orang hidup bermasyarakat itu ya perlu diatur. Apalagi kalu menyangkut soal fb yang penggunaannya sangat personal begini, 'kan bisa-bisa jadi bahaya laten, yang tidak terlihat tapi ternyata menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan bermasyarakat, bahkan berpeluang meruntuhkan nilai-nilai moral dan etika masyarakat yang baik, yang selama ini dijunjung tinggi sebagai kepribadian sebuah bahsa dan negara yang bermartabat. Jadi, jelas hal ini bukan masalah sepele.

Mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa komunikasi personal melalui media virtual tidak akan pernah bisa menggantikan komunikasi personal face to face yang sebenarnya. Dalam komunikasi face to face masing-masing pelaku komunikasi dapat mengetahui kejujuran situasi dan pembicaraan yang sesungguhnya. Masing-masing dapat langsung melakukan konfirmasi terhadap keragu-raguan akan pesan, bahkan dapat mengendalikan kebohongan yang maungkin terjadi dengan mengamati bahasa tubuh, gerak-gerik dan ekspresi wajah lawan bicara.

Kalau orang sampai-sampai harus share pagi ini berapa banyak polisi tidur yang ia lewati dari rumah hingga kantornya, lalu apa coba ? Memang sih news value-nya tinggi, tapi so what gitu lho ? Just want to be looked different by other people ? Padahal, tidak jarang orang-orang yang terlihat bagaimana getoo lho di fb dan dunia maya ternyata personaliti aslinya sama sekali berbeda di kehidupan sosial ! Hal ini sudah banyak dibahas di berbagai media masa. Rasanya, sudah saatnya kita berani mengatakan tidak terhadap hal-hal yang tidak penting dan hanya menghabiskan waktu dan biaya saja. So guys, be careful and be wise !

Sunday 14 June 2009

KAMPANYE CAPRES vs MANOHARA !

Setengah tidak percaya & takjub, saya sedikit bengong saat menyimak berita minggu siang hari ini yang disiarkan salah satu stasiun televisi bahwa di salah satu kegiatan kampanye capres di cilincing ternyata membawa serta "Manohara, mom & friends" dalam rombongan kampanyenya ! Coba bayangkan ... ! Unbelievable !

Wuakakak ... saya sih tidak terlalu mengerti di sebelah mana relevansinya antara kampanye capres dengan Manohara. Tapi saya juga percaya, kalau dihubung2kan dan dicari2 alasannya pasti adalah hubunganannya. Wuakakakak ... sungguh lucu !

Tadinya, sebelum berita soal kampanye capres + manohara, di siaran berita yang sama juga diceritakan 'kesibukan' manohara yang lain. Kalau berita yang ini, lebih tidak penting lagi, manohara pergi ziarah ke banten, tentu bersama ibunya yang mengenakan seragam loreng merah itu loh ... ! Ya ampyun manohora ... penting banget ga' sih ... ?

Tapi asli ... kasus manohara ini memunculkan banyak fenomena yang menarik dan spektakuler ! Dari dugaan urusan kekerasan dalam rumah tangga, keterlibatan organisasi non partai, politik dalam negeri, politik antar negara tetangga, gosip di infotainment, mode - fashion hand bag & baju muslim, psikolog & guru sipritual, hingga kampanye capres !!!

Ya ampyun ... !!! Bila kasus manohara ini dimonitoring sejak pemberitaan yang pertama di-launch di media massa, kemungkinan kecenderungan beritanya bisa jadi sangat dinamis alias tidak langsung tertuju pada topik dengan arah tertentu. Hingga hari ini saja, setelah dua minggu manohara kembali ke Indonesia dan terbebas dari 'penjara'-nya, artinya sesungguhnya kasus tersebut sudah melampaui titik balik. Tapi anehnya, isunya belum kunjung berhenti dan masih saja bergerak. Menarik bukan ... ?

Pencitraan manohara di mata publik pun hingga saat ini masih menunjukkan kecenderungan yang terus bergerak. Hari-hari pertama, simpati publik begitu besar atas musibah yang menimpa manohara. Namun, memasuki hari keempat, simpati publik dan media mulai beralih lantaran (ibu) manohara terkesan kejar setoran terhadap liputan media. Kondisi ini diperburuk dengan insiden ditinggalkannya manohara oleh kuasa hukumnya yang tergolong pengacara profesional kelas atas. Sebelumnya sebuah NGO lokal soal perempuan sudah terlebih dulu meninggalkan manohara. Kedua insiden tersebut terjadi karena alasan yang sama, (ibu) manohara terkesan tidak serius dan lebih memprioritaskan safari infotainment ketimbang menyelesaikan masalahnya dengan segera.

Dalam kasus manohara ada banyak hal yang dapat dipelajari secara ilmiah dari sisi komunikasi. Pencitraan oleh publik & media serta sikap berbagai pihak pengambil keputusan terhadap manohara dapat terlihat dari peran media dalam memainkan agenda isu bagi publik sebagaimana tercermin dalam teori komunikasi "Agenda Setting".

Sebaliknya, image building yang dibangun ibunda manohara memperlihatkan bagaimana sang ibu secara tidak langsung melakukan fungsi PR. Bagaimana seseorang begitu berperan terhadap terbangunnya citra orang lain, akibat program yang dibuatnya. Saat program dan keputusan tindakannya dirasa kurang tepat, maka citra negatif melekat pada manohara.

Jadi, menarik bukan menelaah kasus manohara ini secara ilmiah dari sisi komunikasi ? Kadang, kita tidak pernah memperhatikan ada banyak hal atau contoh di sekitar kita mengenai proses komunikasi dan kehumasan yang sangat menarik dan fenomenal. Dan kasus manohara merupakan salah contoh kasus yang membuktikan bagaimana proses komunikasi berperan terhadap banyak hal, seperti pencitraan, pembentukan opini publik, proses pengambilan keputusan atas masalah tertentu oleh decision maker, hingga pembentukan trend setter dalam dunia fashion !

Yang paling spektakuler tentu saja adalah keterlibatan Manohara dalam kampanye salah satu pasangan capres ! Ternyata, kasus manohara dianggap punya nilai jual bagi kampanye salah satu capres. Bila kita menelaahnya secara ilmiah, dari kaca mata komunikasi, hal-hal yang menarik dalam mengemas pesan komunikasi antara lain adalah proximity, oddity, sensational, konflik, tragedi, dll. Maka, wajar bila kasus manohara menjadi komoditi yang pas bagi agenda kampanye pemenangan salah satu capres. Manohara ... oh manohara ... !

Friday 12 June 2009

DAMPAK ICT - TIK

Betapa ruwetnya hidup ini. Lantaran sebuah email, seorang ibu rumah tangga beranak 2 (dua) yang masih belita mendekam di penjara. Sekarang, cerita yang tidak kalah seru, gara-gara curhat di facebook, seorang guru PNS berstatus tersangka dan siap-siap 'juga' dijebloskan ke penjara. Lha kalau sudah begini, apa pula gunanya teknologi komunikasi ?

Sesungguhnya, di jaman yang sudah menjadikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi andalah hampir di segala aspek kehidupan, maka sesungguhnya bagaimana seharusnya manusia menempatkan TIK atau ICT (information - communication - technology) ini secara bijaksana ? Lha kalau segala hal yang berkaitan dengan ICT menjadi perkara 'kan ya jadi repot ... ?

Dari urusan dagang, cari jodoh, koran on line, tv on line, ngumpulin saudara atau kerabat yang tercerai-berai, nangkep koruptor hingga kampanye presiden saat ini mengandalkan ICT. Artinya, sesungguhnya ICT diciptakan untuk membantu berbagai proses dan aktivitas komunikasi antar manusia agar menjadi lebih cepat dan efisien.

Persoalannya, berbagai media hybrid atau canggih yang menjadi turunan dari produk ICT mempunyai kharakter, kekurangan, kelebihan dan peruntukan yang berbeda. Ironisnya, kondisi ini seringkali tidak dipahami baik oleh pengguna maupun berbagai pihak lainnya yang berkepentingan dengan penggunaan ICT, baik secara personal maupun institusional. Selain itu, namanya juga media, maka berbagai produk ICT itu pada dasarnya merupakan alat bantu, dalam hal ini sebagai wahana atau media komunikasi. Jadi, walaupun sama-sama menggunakan kemajuan ICT bukan berarti semua media itu merupakan media massa alias media yang ditujukan untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas.

Pada awalnya, kemajuan ICT memang menghasilkan produk yang lebih membawa manfaat pada kepentingan komunikasi massa, seperti penggunaan ICT pada jaringan radio dan siaran televisi. Namun persoalannya saat ini perkembangan ICT telah berinovasi dan menciptakan berbagai media yang peruntukannya juga menyentuh bagi komunikasi secara personal, seperti penggunaan telepon seluler, surat elektronik atau e-mail, jejaring sosial virtual seperti friendster yang one way, multiplay dan blogspot yang semi interaktif hingga facebook yang interaktif atau two way communication secara just in time.

Jadi, yang perlu dipahami dengan kemajuan ICT saat ini adalah bahwa kemajuan ICT telah menciptakan dan menyediakan berbagai produk inovatif, yang dulunya hanya menghasilkan berbagi produk yang peruntukannya untuk komunikasi massa bagi kepentingan orang banyak, kini telah berhasil menghasilkan berbagai produk komunikasi interpersonal yang bermanfaat bagi kepentingan komunikasi antar personal.

Kedua perbedaan produk inovatif 'akibat' kemajuan ICT ini selayaknya tentu tidak mengubah hakekat fungsi media berdasarkan kelompok publiknya, apakah massal atau personal. Artinya, bahwa sebagai media massa maka pesan yang terkandung dalam produk ICT yang bersifat komunikasi massa maka menjadi pesan untuk konsumsi umum atau khalayak. Sebaliknya, ICT sebagai media personal (HP, email, dll.), maka pesan yang terkandung di dalamnya menjadi kepentingan personal pula.

Persoalan berikutnya, kini ICT menjadi sebuah kegiatan yang telah diandalkan sekaligus telah dimanfaatkan di berbagai aspek kehidupan perlu dikaji oleh banyak pihak yang meliputi kegiatan ICT itu sendiri. Artinya, kegiatan ini perlu pengkajian pakar komunikasi, teknologi, hukum, dll. untuk mengatur secara tegas batasan-batasan yang mana menjadi ruang publik dan yang mana yang menjadi ruang pribadi sesuai fungsi & kharakteristik masing-masing media tersebut secara ilmiah dan obyektif.

Begitulah keberadaan ICT saat ini, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, tak cinta maka bisa menjadi bencana. Maka kuasailah teknologi, bila tidak kita akan tertinggal atau bahkan ditelikungi oleh teknologi, terjebak oleh teknologi. Ibarat menggunakan sebuah keris sakti, bila tidak mampu menguasai dan mengalahkan kharisma si keris, bahkan membuka dan mengeluarkan keris dari tempatnya dengan cara yang salah bisa-bisa akan melukai diri sendiri ....