Monday 28 December 2009

LUNA MAYA DI DUNIA MAYA

Kasus Prita belum lagi usai, kasus lain pun meruak tak kalah hebat. Serupa, tapi tak sama. Intinya, tetap menyoal kebebasan bicara dan berpendapat di dunia maya. Persoalannya, bagaimana memilah dunia maya ? Siapa bisa melarang aroma kentut berhenti berhembus di udara ? Begitulah dunia maya. "Semua" orang (pelaku) membutuhkan, tapi bagaimana kita bisa menghalangi dan mencegah pikiran setiap manusia yang berkepentingan di dalamnya ? Bukankah itu hal yang tak mungkin, bila manusia melarang manusia lain berpendapat dan berpikir. Namun, apakah hanya sampai di situ ?
  1. KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI; Secara, itulah yang disebut dengan kemajuan teknologi komunikasi, itulah yang disebut dengan globalisasi, maka rasanya nyaris muskil bila manusia mencoba menghentikan laju dan berjuta 'irisan' interaksi di dalamnya dengan berbagai konsekuensinya. Artinya, dalam era global saat ini, maka berhati-hatilah dalam memanfaatkan teknologi. Bila kita tidak pandai memanfaatkan teknologi, maka kita yang akan tergilas teknologi atau kemajuan jaman.

  2. GLOBALISASI ADALAH FILTER; Bila dicermati, globalisasi dalam hal ini adalah filter itu sendiri. Kemajuan teknologi dalam era globalisasi saat ini bukan lagi sarana, tapi penyaring itu sendiri, pencegah, yang juga dalam bentuk maya. Maka, sakit hati, reputasi, aib, privasi, dan semuanya yang lain menjadi konsekuensi. Jadi bila tidak mau menanggung konsekuensi globalisasi, berlakulah secara bijak dan jujur. Atau, bila memilih menjadi penjahat, maka jadilah penjahat yang paling ulung. Bila tidak, maka tanggunglah akibatnya, konsekuensi itu, sakit hati itu, reputasi itu, yang ternoda, tersingkap sedetil-detilnya, sejelas-jelasnya, secepat-cepatnya, melebihi siaran langsung penangkapan gembong teroris pada peak time jam siaran secara on air/on line ! Jadi, sesungguhnya filter itu bukan pada alatnya, tapi keselarasan hidup dalam era globalisasi secara bijaksana. Jadi, jagalah ucapan, sikap dan tindakan, apapun media yang dipilih untuk digunakan.

  3. FENOMENA ILMU KOMUNIKASI; Maka apa yang menarik dari curhat luna maya di twitternya ? Yang paling menarik adalah ternyata, tidak semua pelaku jurnalistik berpandangan sama. Oya, tentu selalu ada 2 (dua) sisi dalam kehidupan manusia. Namun dalam hal ini, munculnya berbagai masalah akibat interaksi dunia maya telah memberikan pembelajaran yang positif bagi pelaku teknologi komunikasi, khususnya pelaku jurnalistik.

  4. PENDEKATAN PENYELESAIAN; Setidaknya, berbeda dengan pelaku korporasi yang cenderung berpikir win-loose pada kasus prita, para pelaku jurnalistik jauh lebih obyektif dan berbesar hati untuk mulai memikirkan kembali kemungkinan adanya perubahan dalam dirinya. Mungkin, karena kasus luna terjadi di area industri komunikasi itu sendiri, maka dalam penyelesaiannya pendekatan yang dipilih jauh lebih relevan. Berbeda dengan kasus prita yang lebih didominasi dengan pendekatan hukum/legal yang kurang relevan dengan nuansa kasus yang sesungguhnya kental dengan aspek humas dan pelayanan.

  5. PENTINGNYA TEORI; Meminjam bahasa komunitas masyarakat NU, itulah pentingnya kembali ke kitah. Tak terkecuali dalam interaksi komunikasi. Maka mengembalikan kegiatan jurnalistik yang sudah melebar bentuknya ke mana-mana kepada pertanyaan mendasar sungguh bijak. Apakah masih pantas, bila kegiatan infotaintment tergolong pekerjaan jurnalistik yang sesungguhnya, sama dengan kuli disket pencari berita ? Persoalannya, seberapa banyak pelaku jurnalistik yang menguasai teori akan pekerjaannya sendiri ?

Setidaknya, kasus demi kasus menyoal teknologi komunikasi, industri media dan jurnalistik mengarah ke cara-cara yang lebih baik. Para pelaku lebih dewasa dalam bertindak. Kini, giliran masayarakat, seluruh pengguna teknologi komunikasi yang seharusnya lebih dewasa lagi dalam segala hal. Akankah masyarakat melulu menjadi obyek berbagai industri, khususnya media ? Seharusnya manusia adalah subyek, pelaku segala sesuatu. Namun, dibutuhkan kedewasaan dan kemampuan berpikir, mengolah serta mencerna segala hal yang kita hadapi ....



HUMAS INDONESIA

Secara, memikirkan masa depan humas rasanya kok suram sekali ya. Adapun wahana tentang itu pun tidak terlalu "menohok dalam" kiprahnya. Sebagaimana kecenderungan berbagai wahana sejenis, umumnya wahana tersebut tidak lebih dari media show off anggota tertentu ketimbang memberikan sesuatu yang hebat, mencerahkan, inovatif, konstruktif, dan progresif. Sebaliknya, selain sebagai ajang show off wahana seperti itu hanya sebagai sarana komunikasi yang ... sama sekali ga' penting dengan timpalan-timpalan yang remeh temeh serta sikap provokatif yang sensitif, laksana memancing di air keruh yang sesungguhnya tengah diupayakan menjadi jernih ....

Wuiiiih ... berat rasanya. Apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki semua ini ya ... ? Saya memandang, begitu semakin peliknya kondisi humas Indonesia, saat ini. Dari berbagai permasalahan yang saya temui sebagai praktisi maupun ilmuwan kehumasan, saya melihat sejumlah fenomena memprihatinkan, antara lain ...
  1. Rendahnya kesadaran; Betapa rendahnya kesadaran & pemahaman para pengguna jasa humas tentang keberadaan humas secara ilmiah & profesional. Buktinya ? Betapa banyak perusahaan yang merekrut SDM dengan latar belakang nyaris terserah, untuk posisi humas. Dari yang tingkat SMA sampai S2 bahkan mungkin S3 bisa jadi humas. Itu baru posisinya, belum bicara pekerjaannya. Giliran bicara pekerjaannya, maka dari pendamping karaoke hingga pialang saham pun dibilang itu PR, public relations alias humas. Oh, no !!!!

  2. Persaingan tak sehat; Kelanjutan dari problem pertama di atas, dampaknya kemudian adalah persaingan yang tak sehat. Apa buktinya ? Buktinya, terjadi gap yang sangat tajam antara humas manajerial dengan humas pelaksana. Tak peduli latar belakang akademisnya apa, selagi ijasah yang dimiliki itu made in abroaaaaad getooooh, langsung deh diciduk jadi manager. Even, she is only 25 years old, she'll get the position, as Head of Public Relations ! Perusahaan tak peduli lagi, apakah kriteria yang dimiliki sang kandidat relevan atau tidak. Apakah perusahaan membutuhkan pendekatan corporate PR atau marketing PR, perusahaan tak peduli, yang penting perusahaan punya PR lulusan luar negeri. Oh, my God !!!! Sementara para sarjana lokal, tak laku sebagai apa-apa. Dan pada level pelaksana, yang direkrut dari universitas kelas terdengar dan tak jelas rimbanya. Akibatnya, di antara keduanya, manager & staf ibarat jaka sembung bawa kambing. Ga' nyambung, mbek ... mbek ... Karena gap terlalu tajam. Perusahaan tak tahu, bahwa menjadi PR bukan cuman modal bahasa Inggris, mantan wartawan, tampang cakep doaaaank, tapi harus tahu strategi, konsep, riset, dan banyak lagi. Bagaimana ini ?

  3. Lemahnya komitmen pemerintah; Pemerintah, kontribusinya terhadap kemunduran humas di Indonesia bisa jadi paling besar. Pemerintah tidak memiliki regulasi cukup ketat yang menjamin hak akademisi komunikasi khusunya humas secara ilmiah dan profesional. Saya pun tak ingat lagi, apakah negara ini saat ini masih punya menteri penerangan atau tidak. Itulah bukti, pemerintah saja tidak mengelola informasi secara ilmiah & profesional. Adapun Depkominfo, 5 (lima) tahun terakhir sibuk dengan teknologi, yang nota bene merupakan tool/alat dalam berkomunikasi, bukan pada content komunikasi, yaitu pesan dan strategi yang seharusnya jauh lebih prioritas bagi negara & pemerintah saat ini. SKKNI Bidang Kehumasan yang telah dihasilkan pun ibarat lenyap ditelan bumi. Bahkan mencarinya dalam situs resmi depkominfo pun sulit ditemui ! Aneh tapi nyata !

  4. Ketidakkompakan/disintegrasi; Ini jauh lebih konyol lagi. Sudah situasi tidak mendukung seperti ini, para pelaku humas itu sendiri pun tidak kompak pula dan sibuk mencari posisi & membangun kubu masing-masing. Tak satu pun dari berbagai pihak itu berpikir secara damai dan mencari jalan keluar yang berguna bagi kemajuan bersama. Sangat memprihatinkan. Ibarat sejumlah gajah berperang, maka pelanduk pun mati di tengah-tengah. Begitulah nasib para insan humas kelas menengah di negara ini.

  5. Rendahnya kualitas; Ini dia, rendahnya kualitas semakin menggenapi betapa carut marutnya kondisi humas Indonesia selama ini. Tak tahu lagi saya, apakah ada standar kesamaan kurikulum materi pengajaran ilmu komunikasi khususnya humas di berbagai perguruan tinggi & universitas serta institut di seluruh negeri ini. Namun yang saya tahu, mahasiswa saat ini, menulis nama presidennya saja mereka tidak tahu ! Begitukah kualitas calon sarjana komunikasi, humas Indonesia saat ini, di atas 20 tahun, masih tak tahu pula bagaimana dan siapa presiden negara ini ? Apa yang akan diharapkan dari kualitas sarjana komunikasi seperti itu ?

  6. Obral ijasah akademis; Bila sebelumnya kegiatan jurnalistik telah berubah dan menjelma menjadi industri media yang mengaburkan fungsi jurnalistik sesungguhnya sebagai kontrol sosial dalam memberikan informasi, edukasi dan hiburan menjadi sebagai mesin pencari uang dan alat mencapai kekuasaaan, kini giliran lingkungan akademis yang melakukan hal serupa. Ikuti tren, komunikasi bakal menjadi booming, rekrut sebnyak mungkin, tak perlu saringan, ujian semudah mungkin, tak perlu hadir kuliah, dan surprise .... kamu lulus menjadi sarjana komunikasi dengan IP 3,3 ! Sebaliknya, para dosen ditekan sedemikian kuat untuk memberikan kemudahan semaksimal mungkin kepada siswa, berikan sedikit tugas, tawarkan ujian termudah, dan haram menidakluluskan siswa didik ! Belum lagi, ini dia, belum lagi, sistem pengajaran yang sangat luar biasa, di luar ketentuan lazimnya sistem perkuliahan yang ditentukan pemerintah. Ya ampyun ... apa-apaan ini ????

  7. Zero mind; Maka, jadilah kita semua para pelaku humas di Indonesia melanjutkan masa tidur panjangnya lagi, setelah berpuluh-puluh tahun tak sekali pun juga mengigau apalagi bermimpi kemudian bangun memikirkan dan berusaha membangun mimpinya. Rasanya hal itu benar-benar hanya mimpi itu sendiri. Muskil, absurd ....

Semoga, kondisi ini berakhir ....

Jadi, jangan berpikir apalagi bersikap ideal, maka kematian akan menjemputmu. Namun, sebaik-baiknya manusia yang dapat bertahan dalam kehidupan yang semakin tak normal adalah mereka yang tetap teguh dengan pendirian dan keimanan ....

Wednesday 16 December 2009

KISAH SI GENIE

Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang waktu ia tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar ia bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, “Dunia tidak akan pernah mengerti.”

Mungkin ia benar. Dunia tidak akan mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat membenci anaknya begitu sangat. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, demikian nama samaran gadis tersebut, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecilnya ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Kakak laki-laki Genie-lah akhirnya yang berusaha memberi makan dan minum. Itu pun sesuai perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakaknya dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut kepada ayahnya.

Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia satu tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, leinguis, neurolog dan mereka yang mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali keterampilan mengungkapkan pikirannya dalam bentuk lambang-lambang yang dipahami orang lain. Apakah kurangnya keterampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya ? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan ? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh ? Inilah di antara sekian banyak pertanyaan yang menyebabkan Susan Curtis, profesor linguistik di University of California, mencurahkan waktu tujuh tahun untuk meneliti Genie


(Pines, 1981, disadur dari buku “Psikologi Komunikasi, Drs. Jalaluddin Rakhmat, MSc. PT. Rosdakarya – Bandung, 2007, hal.1-2)

 
Demikianlah, fenomena semacam ini mungkin tanpa kita sadari banyak terjadi di sekeliling kita. Betapa banyak di antara kita membiarkan anak-anak dalam keluarga, pegawai dalam sebuah perusahaan, anggota dalam sebuah organisasi tumbuh dan berinteraksi dengan cara-cara yang tidak seharusnya. Tanpa disadari begitu banyak manusia menjadi semakin bodoh karena lingkungan menjadikannya demikian.
 
Otak manusia membutuhkan rangsang atau stimulasi agar dapat berfungsi semakin hebat dari waktu ke waktu sepanjang usia. Namun bila otak manusia tidak memperoleh apa yang dibutuhkannya, maka yang terjadi adalah seperti yang dialami Genie. Otaknya menjadi tumpul, kemampuannya jadi tidak sebagaimana mestinya ....

Mungkinkah kisah Si Genie ini terjadi dalam dunia kerja, khususnya dalam dunia kerja humas di Indonesia ? Berapa banyak praktisi humas yang mengalami kemunduran intelektual karena lingkungan kerja humas yang tidak kondusif ? Berapa banyak praktisi humas yang mengalami kemunduran intelektual & profesional akibat terkondisikan secara tersistem & sinergi seperti ini ?


Tidak satu pihak pun peduli akan kemajuan profesional, praktisi dan keberadaan PR di Indonesia. Tak banyak regulasi yang mendukung bagi kemajuan praktisi & profesional humas secara intelektual. Tak banyak dunia empiris/end user / institusi pengguna jasa humas yang berkomitmen serius dan mempertimbangkan serta mengutamakan intelektualitas komunikasi sebagai dasar profesi kehumasan. Tak banyak pula CEO atau Top Level Management yang mempunyai wawasan yang benar mengenai tugas, fungsi dan peran humas secara relevan, obyektif dan terukur. Tak banyak pula dunia akademis yang mengedapankan kualitas kelulusan, sebaliknya kelulusan sebagai formalitas bak menunggu arisan. Akibatnya, eksistensi humas Indonesia pun semakin terpuruk.




Betapa keberadaan humas Indonesia sangat dipengaruhi dan tergantung oleh banyak pihak agar dapat beranjak dari tempatnya saat ini, menjadi lebih maju, dan lebih dihargai oleh semua stakeholdernya. Semoga, catatan ini menjadi inspirasi semua pencinta dunia kehumasan ....

Wednesday 9 December 2009

PR di INDONESIA, HARI INI & NANTI

Akan sampai kapan para praktisi Humas meratapi, menangisi, atau menatap nanar masa depan dunia PR ?
  • Keterbatasan pemahaman CEO dunia empiris tentang profesi dan peran PR begitu menentukan peluang akan masa depan para praktisi / profesional humas dalam berkiprah di dunia kerja;
  • 'Pergerseran' profil PRO yang dibutuhkan dunia kerja berubah demikian ekstreemnya. Pada Top Level Management, dunia empiris benar-benar mengisyaratkan cap luar negeri yang dianggap layak dan mampu mengisi posisi strategis PR. Sementara pada tingkat pelaksana, dunia empiris membabi buta menentukan kriteria yang sangat tidak profesional, dan hanya sebatas ukuran fisik semata (tinggi badan, warna kulit, panjang rambut, ukuran pinggang, dst.);
  • Minimnya peran pemerintah. Tak banyak regulasi yang dihasilkan untuk mendukung agar para praktisi / profesional dapat memperoleh hak-hak intelektual & profesionalnya di dunia kerja;

Bayangkan saja, bila para praktisi / profesional PR yang notabene made in lokal selalu dikalahkan oleh mereka yang bersertifikasi import, maka persoalan profesi PR di Indonesia akan bak lingkaran setan atau benang kusut yang tiada akhir. Seharusnya, para intelektual lokal pun berhak mendapatkan porsinya. Namun masalahnya dunia empiris hanya menginginkan 2 (dua) kriteria, yaitu sophisticated & just nobody's.

Profesi PR berbeda dengan profesi non eksakta lainnya. Katakanlah bidang ekonomi, yang lapangan kerjanya relatif jauh lebih besar. Dan yang terpenting dalam hal ini, dunia emphiris relatif lebih memahami bahwa pekerjaan tertentu memang membutuhkan SDM yang sesuai secara intelektual dan akademis dengan bidang pekerjaan tsb.

Sementara dalam bidang PR, pandangan dunia empiris belumlah terbangun. Ironis sekali memang, para praktisi & profesional PR yang notabene mumpuni dalam hal komunikasi justru tidak berhasil mengkomunikasikan & memperjuangkan untuk masa depannya sendiri.

Siapa harus di-educate dalam hal ini ?

  1. Akademia, modal pasti. Akademia perlu diberi gambaran yang optimal tentang profesi PR secara menyeluruh dan terintegrasi. Baik secara konsep, praktis, etika hingga regulasi.
  2. Decision Maker/ pengambil keputusan dalam dunia empiris, penentu. Merekalah penentu nasib para praktisi & profesional PR hingga mereka mempunyai kesempatan berkiprah dalam bidang yang relevan secara intelektual & profesional. Hipotesisnya, semakin baik wawasan para pengambil keputusan tentang bidang PR, maka akan semakin terbukalah peluang bagi para praktisi/profesional PR dalam mengembangkan diri secara optimal & maksimal;
  3. Pemerintah, kekuatan law inforcement. Keberadaan PR mutlak membutuhkan peran Pemerintah dalam regulasi yang memberikan jaminan bagi para praktisi/profesional dalam memperoleh haknya, pekerjaan secara sesuai, relevan dan obyektif. Sebaliknya, pemerintah pula yang mempunyai peran besar dalam menghimbau dunia empiris secara institusional untuk menerapkan the right man on the right place pada posisi PR dengan mensyaratkan sertifikasi profesi bidang PR;
  4. Practioners & Professionals, indikator. Membangun komitmen bersama para praktisi / profesional yang telah in charge menjadi salah satu cara untuk mempercepat / akselerasi dalam memberikan peluang & hak PR secara intelektual.

Harus diakui, perkembangan PR di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Hampir selama dekade belakangan ini tidak ada kemajuan yang terlalu menggembirakan. Butuh kerja keras seluruh elemen agar keberadaan PR di Indonesia dapat berubah ke arah lebih baik. Akankah para praktisi/profesional PR Indonesia mampu dan mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkannya ?

Tuesday 1 December 2009

PR di INDONESIA

Sejak kemunculannya pertama kali sebagai sebuah profesi, keberadaan PR tidak bisa terlepas dari pengaruh dunia empiris. Pendek kata, perkembangan dan kemajuan profesi PR sangat dipengaruhi dunia empiris. Dan yang paling menarik dalam hal ini adalah, bahwa perkembangan profesi PR di Indonesia berlangsung sangat lambat dan memprihatinkan.

Kharakter dunia empiris yang digeluti oleh para profesional atau praktisi PR sangat mempengaruhi perkembangan kompetensi, wawasan dan pengetahuan para praktisi yang bersangkutan. Sederhananya, kondisi empiris tersebut mempengaruhi besaran perbandingan das sein dan das solen-nya (teori dan praktek-nya).

Hipotesisnya bisa jadi cenderung seperti ini : semakin baik pemahaman kondisi empiris tentang PR, maka semakin optimal para profesional PR bekerja. Konsekuensinya, maka kompetensi, wawasan dan pengetahuan para profesional PR pun semakin bertambah dan terbuka lebar.

Sebaliknya, ternyata hipotesis tersebut juga berpeluang menjadikan semakin terspesialisasinya para profesional PR sehingga membuat kompetensinya menjadi kurang komperehensif. Artinya, PR hanya menguasai melulu soal komunikasi dan PR. Padahal dalam dunia empiris, PR berkepentingan dengan banyak pihak sehingga membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang banyak hal.

Intinya, PR perlu menguasai soal bidang usaha yang digeluti perusahaan baik produk maupun prosesnya. Persoalannya, kala menduduki posisi yang lebih strategis maka cara pandang PR pun menjadi lebih luas dan multidimensi. Artinya, bisa jadi PR pun harus tahu soal keuangan, hukum, dll. Para profesional & praktisi PR yang berlatar belakang ilmu komunikasi tentu sudah dibekali dengan berbagai ilmu tersebut. Masalahnya, bagaimana dengan yang lainnya ?

Dunia PR sungguh menarik. Namun mengapa perkembangannya (di Indonesia) justru berbanding terbalik ? Di antara berbagai profesi berlatar belakang ilmu sosial, keberadaan PR terbilang sangat memprihatinkan. Perdebatan di antara para praktisi PR tentang keberadaaan PR yang tidak berkesudahan, sementara pemahaman dunia kerja terhadap profesi PR pun tidak kunjung membaik.

Belajar tiada henti tentang komunikasi dan PR pun akhirnya seperti tidak berarti, saat PR dihadapkan tentang banyaknya urusan dalam dunia kerja yang ternyata bisa jadi tidak dikuasai PR sama sekali, apalagi bila disandingkan dengan perkembangan dunia usaha dan teknologi komunikasi saat ini. Lalu, apakah PR masih punya arti ?