Wednesday 16 December 2009

KISAH SI GENIE

Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang waktu ia tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar ia bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, “Dunia tidak akan pernah mengerti.”

Mungkin ia benar. Dunia tidak akan mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat membenci anaknya begitu sangat. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, demikian nama samaran gadis tersebut, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecilnya ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Kakak laki-laki Genie-lah akhirnya yang berusaha memberi makan dan minum. Itu pun sesuai perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakaknya dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut kepada ayahnya.

Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia satu tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, leinguis, neurolog dan mereka yang mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali keterampilan mengungkapkan pikirannya dalam bentuk lambang-lambang yang dipahami orang lain. Apakah kurangnya keterampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya ? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan ? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh ? Inilah di antara sekian banyak pertanyaan yang menyebabkan Susan Curtis, profesor linguistik di University of California, mencurahkan waktu tujuh tahun untuk meneliti Genie


(Pines, 1981, disadur dari buku “Psikologi Komunikasi, Drs. Jalaluddin Rakhmat, MSc. PT. Rosdakarya – Bandung, 2007, hal.1-2)

 
Demikianlah, fenomena semacam ini mungkin tanpa kita sadari banyak terjadi di sekeliling kita. Betapa banyak di antara kita membiarkan anak-anak dalam keluarga, pegawai dalam sebuah perusahaan, anggota dalam sebuah organisasi tumbuh dan berinteraksi dengan cara-cara yang tidak seharusnya. Tanpa disadari begitu banyak manusia menjadi semakin bodoh karena lingkungan menjadikannya demikian.
 
Otak manusia membutuhkan rangsang atau stimulasi agar dapat berfungsi semakin hebat dari waktu ke waktu sepanjang usia. Namun bila otak manusia tidak memperoleh apa yang dibutuhkannya, maka yang terjadi adalah seperti yang dialami Genie. Otaknya menjadi tumpul, kemampuannya jadi tidak sebagaimana mestinya ....

Mungkinkah kisah Si Genie ini terjadi dalam dunia kerja, khususnya dalam dunia kerja humas di Indonesia ? Berapa banyak praktisi humas yang mengalami kemunduran intelektual karena lingkungan kerja humas yang tidak kondusif ? Berapa banyak praktisi humas yang mengalami kemunduran intelektual & profesional akibat terkondisikan secara tersistem & sinergi seperti ini ?


Tidak satu pihak pun peduli akan kemajuan profesional, praktisi dan keberadaan PR di Indonesia. Tak banyak regulasi yang mendukung bagi kemajuan praktisi & profesional humas secara intelektual. Tak banyak dunia empiris/end user / institusi pengguna jasa humas yang berkomitmen serius dan mempertimbangkan serta mengutamakan intelektualitas komunikasi sebagai dasar profesi kehumasan. Tak banyak pula CEO atau Top Level Management yang mempunyai wawasan yang benar mengenai tugas, fungsi dan peran humas secara relevan, obyektif dan terukur. Tak banyak pula dunia akademis yang mengedapankan kualitas kelulusan, sebaliknya kelulusan sebagai formalitas bak menunggu arisan. Akibatnya, eksistensi humas Indonesia pun semakin terpuruk.




Betapa keberadaan humas Indonesia sangat dipengaruhi dan tergantung oleh banyak pihak agar dapat beranjak dari tempatnya saat ini, menjadi lebih maju, dan lebih dihargai oleh semua stakeholdernya. Semoga, catatan ini menjadi inspirasi semua pencinta dunia kehumasan ....

No comments:

Post a Comment