Wednesday 9 November 2011

BAHASA dan KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Sebuah tulisan di harian Kompas Selasa, 8 November 2011 bertajuk "Bangga Menggunakan Bahasa Sendiri" sungguh sangat mengagetkan sekaligus menginspirasi untuk lebih banyak mempelajari lagi mengenai ilmu komunikasi. Berikut, tulisan tersebut, yang dimuat di harian Kompas hal. 6 ditulis oleh Fidelis Regi Waton, sebagaimana dimuat dalam http://www.cabiklunik.blogspot.com/

BANGGA MENGUNAKAN BAHASA SENDIRI


-- Fidelis Regi Waton



DIPACU nafsu menemukan bahasa perdana manusia, Kaiser Friedrich II von Hohenstaufen (1194-1250) melakukan eksperimen eksentrik. Dua bayi yang baru lahir diasingkan dari rangsangan bahasa.

Tak seorang pun diperbolehkan berbicara dengan mereka. Percakapan di lingkup mereka dilarang keras. Kaiser berasumsi, didorong kebutuhan komunikatif, keduanya otomatis akan berbicara bahasa asli manusia dari zaman sebelum petaka menara Babel, biarpun tak ada stimulus linguitis. Walau kondisi fisik bugar, mereka akhirnya meninggal akibat kebisuan. Eksperimen gagal total dan dibayar mahal.

Percobaan tragis ini mengajarkan, berbicara bukanlah lampiran pada hakikat manusia di samping kebutuhan bilogis dan sosial. Bagi manusia, berbahasa bukan sekadar media komunikasi (nilai linguistis), tetapi setara makanan, minuman, dan udara (nilai trans-linguistis). Bahasa jadi sumber, ritme, dan napas hidup manusia. Bahasa dan hidup manusia tak bisa diceraikan.

Menurut George Steiner: "Kita sanggup menggunakan kata-kata untuk meneguhkan, berdoa, memberkati, menyembuhan, meracuni, membunuh, membisukan, dan menyiksa. Manusia menciptakan dan menghancurkan dengan perantaraan bahasa." Peran sentral berbahasa menagih tanggung jawab dari kita.

Kata Socrates: "Penggunaan bahasa yang salah bukan melulu kesalahan berbicara, melainkan suatu penajisan nurani." Setiap orang, politikus, penulis, pers, institusi, dan lembaga pendidikan, dituntut menggunakan bahasa secara benar dan tepat. Penggunaan bahasa secara benar berpengaruh terhadap model hidup bersama. Pemimpin negara yang berpidato, misalnya, bukan saja menyampaikan pesan politik, melainkan juga menawarkan kepada para pendengarnya kesaksian hidup dalam aturan publik.

Pernah Konfusius ditanyai: "Apa yang pertama-tama anda lakukan seandainya Anda jadi pemimpin negara?" Jawabnya: "Yang pertama dan menentukan, menamakan segala hal secara tepat. Jika tidak ada ketepatan dalam penamaan, kata-kata jadi meleset. Jika kata-kata tidak lagi tepat, jalannya negara akan jelek. Jika jalannya negara jelek, upacara dan musik juga tidak berkembang. Jika upacara dan musik tidak lagi berkembang, vonis dan hukuman tidak adil, rakyat tidak tahu lagi bagaimana mereka harus hidup."

Di samping kebajikan dan kekuatan, bahasa bisa dimanipulasi lewat penyalahgunaan retorik, ideologisasi bahasa, reduksi dongmatis, pemiskina kosakata, dan primitivisme tata bahasa. Sejarah memperlihatkan realitas pemerkosaan bahasa, amputasi dan manipulasi kekuatan bahasa, serta pemiskinan bahasa oleh sistem politik totaliter seperti Nazi-Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, rezim komunis Uni Soviet, Maoisme, pelbagai kediktatoran militer, dan kaidah agama yang primordial. Statistik menyatakan dunai pers Uni Soviet hanya menggunakan 1.500 kata dari 220.000 kata yang ada dalam kamus bahasa Rusia.



Inflasi kata

Spirit demokrasi tak serta merta berarti tamatnya proses manipulasi bahasa. Setiap orang berpotensi memanipulasi partner bicaranya. Bahasa bisa disakitkan, tetapi juga sanggup disembuhkan. Saya coba menghadirkan simtom klinis dan resep penyembuhannya. Pertama, inflasi kata-kata. Begitu banyak dipergunjingkan. Secara kolosal kata-kata dibombardir dalam pidato, ceramah, konferensi, televisi, radio, internet, dan ponsel.

Orang sanggup berbicara kapan, di mana, dan dengan siapa pun. Virus ini sanggup dihadang melalui akses verbal dan disiplin untuk diam ("diam itu emas"). Di sana kita berpeluang berpikir, merefleksikan, dan menemukan ungkapan baru dan segar sekaligus membangkitkan kesadaran akan makna sejati setiap kata yang dilontarkan.

Kedua, fenomena monolinguisme (penyeragaman bahasa) yang mendepak perbedaan linguistis. Penyakit menara Babel kembali kumat.

Bahasa bukan lagi menyatukan, melainkan memisahkan. Kejamakan tak lagi ditilik sebagai kekayaan, tetapi rumput liar yang harus dibabat. Kisah biblis "keajaiban pentakosta" memperlihatkan, perbedaan dan kejamakan bahasa pada prinsipnya sanggup menghubungkan.

Ketiga, pemahaman keliru terhadap plurilinguisme yang berujung pada pengabaian, minimalisasi penggunaan dan penghinaan bahasa sendiri. Orang cenderung mengekspresikan diri dalam bahasa asing agar dianggap keren. Terhadap gejala ini kita diajak bangga menggunakan, merawat, dan menyiangi bahasa sendiri. Kiat ini bagi bangsa Indonesia jawaban dan tanggung jawab moril terhadap warisan luhur Sumpah Pemuda 1928.

Menurut teolog Origenes, bahasa berasal dari para malaikat. Bahasa jadi jembatan antara duniaku dan dunia orang lain sebagaimana malaikat sebagai pengubung dunia fana dan jagat ilahi Bahasa adalah hakikatluhur suatu bangsa. Ketika kita malu menggunakan bahasa sendiri, aspek keluhuran bangsa diabaikan dan malaikat pelindung bangsa ini menjadi melankolis.

Fidelis Regi Waton, Pamong Rohani KMKI Berlin, Belajar Filsafat di Humboldt Universitaet zu Berlin, Jerman

Sumber: Kompas, Selasa, 8 November 2011

OPINI
Awalnya, Kaiser Friedrich II melakukan eksperimen 'gila' ini dengan tujuan untuk menemukan cikal bakal lahirnya sebuah bahasa yang digunakan oleh manusia. Sebagai seorang 'peneliti' hipotesis Kaiser bisa jadi sah-sah saja, bahwa manusia dengan sendirinya akan menciptakan bahasanya sendiri untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Namun dalam hal ini, mungkin Kaiser lupa, bahwa unit populasinya, sampelnya, adalah manusia, persisnya adalah bayi yang mulai bertumbuh. Maka penelitian ini pun menjadi sangat tidak manusiawi terlebih ketika pada akhirnya eksperimen ini gagal total dan menyebabkan kedua bayi eksperimennya meninggal dunia akibat kebisuan.

Namun yang tak kalah menarik, bahwa pada hakekatnya bahasa adalah alat sementara interaksi antar manusia, apapun bentuknya, intinya adalah komunikasi. Sementara komunikasi dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah bahasa lisan. Sementara selain bahasa lisan ada pula bahasa lainnya, baik itu bahasa isyarat, bahasa tubuh atau bahasa tulisan.

Artinya, sesungguhnya yang membuat kedua bayi malang ini meninggal adalah apa ? Apakah karena ketidakmengenalan mereka akan bahasa, atau ketidakmampuan mereka berkomunikasi ? Mungkin saja, walau keduanya tidak mampu berkata-kata, tapi mungkin saja mereka saling bersentuhan, saling memagang, saling menatap. Tapi rupanya hal itu tidak cukup. Artinya, komunikasi menggunakan bahasa lisan mempunyai sesuatu yang lebih ketimbang bahasa tubuh, mimik atau gerak-gerik.

Bila disandingkan dengan situasi saat ini di tengah kemajuan teknologi komunikasi, maka akan sangat menarik bila kini dilakukan perbandingan antara komunikasi dengan cara berbahasa lisan face to face masih mempunyai sesuatu yang lebih dibandingkan dengan berbagai media hybridnya, sebagaimana situasi yang dialami kedua bayi malang tersebut ? Bagaimana menurut pendapat anda ? Apakah berkomunikasi FB jauh lebih 'sesuatu' ketimbang bercengkerama face to face ?

Hal mudah yang terbodoh untuk menyadarkan manusia mungkin mudah saja. Apakah manusia lebih menyukai pacaran melalui FB atau bertemu muka ? Nah, kalau sudah begini, mengapa manusia masih saja menghindari berinteraksi dengan lingkungannya untuk datang rapat RT, melayat, arisan keluarga, undangan perkawinan, reuni sekolah, lobi kerjaan, dll. ? Tidakkan manusia menyadari bahwa kekuatan berkomunikasi melalui bahasa lisan face to face memiliki kekuatan yang maha dasyat ? Komunikasi dengan berbahasa lisan secara tatap muka membuat setiap pihak yang terlibat di dalamnya dapat melakukan konfirmasi atas kebenaran informasi yang disampaikan dan kredibililtas masing-masing pihak yang berkomunikasi. Kedua hal mendasar ini tidak akan manusia dapatkan bila berkomunikasi menggunakan media.

Thursday 23 June 2011

KOMUNIKASI LAMBRETA

Kamis, 23 Juni 2011, atau berselang 5 (lima) hari setelah terjadinya insiden pemancungan terhadap almh. Ruyati, TKI asal Bekasi, Presiden menggelar jumpa pers selama hampir 1(satu) jam didampingi 3 (tiga) menteri yang berkaitan dengan TKI. Topiknya, tentu saja menyoal sikap pemerintah perihal tragedi yang menimpa almh. Ruyati pada Sabtu, 18 Juni 2011 lalu.

Menanggapi kasus Ruyati, Presiden SBY menyampaikan Instruksi Presiden yang berisi 6 (enam) butir hal penting, yaitu :
  1. Pemerintah menetapkan moratorium (penghentian sementara) pemgiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi efektif terhitung 1 Agustus 2011. Moratorium ini berlaku hingga batas waktu yang tidak ditentukan atau hingga ada kesepakatan di antara kedua negara antara Indonesia dan Arab Saudi menyangkut perlindungan dan hak serta kewajiban TKI yang bekerja di Arab Saudi. Muhaimin Iskandar, Menakertans menegaskan moratorium menyertakan beberapa hal penting lainnya, antara lain : Calon majian harus menyertakan surat kelakuan baik; Gaji minimal bagi para TKI adalah sebesar 11.000 real; Keluarga majikan harus melampirkan daftar lengkap anggota keluarga.
  2. Presiden selaku pemimpin tertinggi NKRI telah mengirimkan surat resmi kepada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyangkut tragedi Ruyati. Dalam surat resminya, sedikitnya ada beberapa hal yang disampaikan pemerintah RI, yaitu : Bahwa hubungan bilateral kedua negara paska tragedi Ruyati dalam keadaan baik; Atas nama pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia mengucapkan terima kasih atas pembebasan sejumlah TKI bermasalah yang berada di Arab Saudi, secara murni atau bebas tanpa syarat; Bahwa pemerintah Indonesia menyatakan prihatin dan protes keras atas pelaksanaan eksekusi hukuman pancung terhadap almh. Ruyati yang melampaui azas, kepatutan serta konvensi internasional yang berlaku bagi seluruh negara di dunia. Pelaksanaan eksekusi dengan tanpa pemberitahuan adalah bentuk nyata pelanggaran etika itu;
  3. Pemerintah akan membentuk satuan tugas khusus dan tim terpadu yang mengurusi TKI;
  4. Pemerintah Indonesia akan membentuk konsulat - atase hukum dan ham di seluruh KBRI atau perwakilan negara Indonesia di luar negeri;
  5. Pemerintah akan membentuk satgas pembela TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri;
  6. Kebijakan nasional menyoal perbaikan pengananan masalah TKI selanjutnya dilakukan setelah tim terpadu selesai melaksanakan tugasnya.

Di ujung pidatonya Presiden SBY menegaskan 2 (dua) hal berkaitan dengan masalah TKI ke depan, yaitu :
  1. Bahwa setiap negara di seluruh dunia memiliki aturan hukum tersendiri yang berlaku dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Karenanya, setiap warga negara Indonesia yang berada di luar negeri wajib mematuhi aturan negara tersebut di mana ia tinggal;
  2. Bahwa pemerintah terus berupaya agar pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat sehingga ketersediaan lapangan kerja bagi warga negara semakin terjamin.

ANALISA
  1. Tragedi Ruyati pada dasarnya telah membawa pemerintahan RI ke dalam sebuah krisis kepercayaan yang serius;
  2. Sayangnya, pemerintah sebagaimana diketahui selama ini cenderung lamban dan tidak responsif menangani situasi krisis seperti ini;
  3. Pemerintah tidak memiliki crisis centre yang dapat memfasilitasi kebutuhan publik akan informasi dari pihak yang dianggap paling layak dan bertanggung jawab atas terjadinya tragedi ini. Akibatnya, sejumlah pihak terkait pun diburu berbagai media dan menyampaikan informasinya tanpa terkoordinasi dan berpeluang saling melemparkan tanggung jawab. Akibatnya, krisis yang terjadi semakin mengancam reputasi pemerintah;
  4. Presiden terkesan tidak punya prioritas, lebih responsif terhadap masalah pribadi ketimbang hal-hal yang menyangkut kemashlatan orang banyak, yang notabene merupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin;


REKOMENDASI
  1. Pemerintah membentuk tim Public Relations (PR) Kepresidenan yang mampu merumuskan strategi komunikasi yang dibutuhkan pemerintah khususnya presiden baik secara personal pribadi maupun institusional lembaga kepresidenan termasuk berperan sebagai management advisory agar dapat berkomunikasi secara efektif; 
  2. Pemerintah cq. Tim PR Kepresidenan melakukan crisis communicatiom management pada setiap kasus yang dianggap berpotensi merusak reputasi presiden dan pemerintah:
  3. Pemerintah bertindak lebih responsif dan terkoordinir dengan berbagai instansi dan atau lembaga terkait bilamana setiap kasus terjadi. Artinya,menyegerakan dan menunjukkan sikap secara tepat perihal kasus mana yang akan direspon dan dengan cara apa. Menentukan komunikator yang tepat untuk berbicara kepada publik dapat membantu berlangsungnya proses recovery secara lebih efektif ;
  4. Pemerintah mampu menganalisa, memilih dan menetapkan prioritas dalam menyikapi setiap kasus yang bergulir. Hal ini menjadi penting agar pemerintah mencapai efektivitas dalam berkomunikasi dengan publik dan merespon kasus-kasus yang dianggap layak. Sebagai perbandingan, Presiden merespon kasus fitnah sms jauh lebih cepat dan emosional ketimbang merespon kasus penting menyangkut warga negara yang menjadi tanggung jawabnya. Bahwa persoalan publik membutuhkan koordinasi dan waktu dalam meresponnya, hal itulah yang menjadi pembeda nyata bahwa crisis communication management perlu dilakukan. Bahwa crisis communication management merupakan bukan sesuatu yang mudah, gampang, atau sederhana, itulah sebabnya pemerintah membutuhkan tim komunikasi strategi yang tangguh, yang bukan hanya kaya akan ilmu tapi juga piawai dan kaya akan pengalaman.
Juru bicara berbeda dengan ahli strategi komunikasi. Presiden boleh memiliki juru bicara. Tapi jauh lebih penting dan prioritas adalah pemerintah khususnya lembaga kepresidenan memiliki ahli strategi komunikasi dalam sebuah Tim PR Kepresidenan yang tangguh !
Published with Blogger-droid v1.7.2

Monday 20 June 2011

SBY vs TKI

KEJANGGALAN KASUS RUYATI
Minggu, 19 Juni 2011 Ruyati, 54th, TKI asal kampung Ceger, Kecamatan Sukatani, Bekasi dieksekusi hukum pancung di Arab Saudi. Ruyati dinyatakan terbukti bersalah karena menghabisi nyawa majikan perempuannya yang konon kerap menyiksanya, bahkan mendorongnya di tangga hingga membuat kaki Ruyati patah.

Pada kenyataannya perbuatan Ruyati membunuh majikannya merupakan reaksi atas aksi penyiksaan yang kerap dialaminya selama ini sebagaimana yang Ruyati pernah ceritakan kepada keluarganya pada akhir 2009 lalu.

Ruyati berangkat sebagai TKI melalui jasa penyalur tenaga kerja yang telah memalsukan usianya 8 (delapan) tahun lebih muda dari usia sebenarnya saat ia diberangkatkan.

Tidak tertanganinya Kasus Ruyati secara layak, menyebabkan banyak pihak yang terkait dengan TKI pun diuber-uber media. Sayangnya, buruknya koordinasi di antara instansi terkait membuat mereka merespon pertanyaan dan rasa penasaran publik dengan cara-cara yang seringkali justru membuat publik semakin mengecam kinerja pemerintah.

Menyimak bergulirnya kasus Ruyati ini, ada beberapa hal menarik untuk dicermati, yaitu :

  1. MANIPULASI DATA.. Alm. Ruyati terbukti diberangkatkan sebagai TKI ke Arab Saudi dengan data yang dipalsukan. Namun anehnya, sejak kasus pemancungan ini diketahui publik, tidak terlihat upaya pemerintah untuk memberikan perhatian pada pelanggaran yang dilakukan agen PJTKI yang telah memberangkatkan alm. Ruyati;
  2. PUTUSAN TAK SAMA DENGAN EKSEKUSIBerdasarkan keputusan yang dijatuhkan pengadilan Arab Saudi, Ruyati tidak dihukum pancung. Namun kenyataannya, nasib Ruyati berakhir di tangan algojo pancung;
  3. PELECEHAN KEDAULATAN RI ? Pemerintah Arab Saudi tidak menginformasikan pelaksanaan eksekusi terhadap alm. Ruyati baik kepada Pemerintah maupun keluarga;
  4. MINIM ADVOKASI HUKUM. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh keluarga alm. Ruyati, pemerintah terkesan tidak melakukan upaya maksimal atau memberikan pendampingan hukum yang agresif kepada terdakwa yang terancam hukuman berat;
  5. PENGABAIAN HAK WARGA NEGARA. Tragedi pemancungan terhadap Ruyati merupakan sebuah antiklimak-tanpa klimak karena pada dasarnya, pembunuhan yang telah dilakukan alm. Ruyati merupakan respon terhadap proses sebelumnya yang belum pernah mendapatkan kesempatan pembelaan secara optimal itu tadi;
  6. DISTRATEGI & DISKOORDINASI. Tanggapan atau respon terhadap kasus ini semakin menguatkan betapa kasus ini tidak tertangani dengan baik. Wajar, bila kasus ini membuat sejumlah pihak dirasa perlu melakukan klarifikasi. Namun, tidak adanya koordinasi di antara mereka menyebabkan respon itu dilakukan tanpa strategi dan koordinasi sama sekali.
STANDING APPLAUSE OBITUARI
Selasa, 14 Juni 2011, Presiden SBY mendapatkan standing applause atas pidatonya di Konferensi Internasional ILO di Genewa, Swiss. SBY memperoleh kesempatan mengisi buku emas ILO dan berpidato pada konferensi tersebut karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil meratifikasi Undang-undang Buruh Migran. SBY bahkan meyakinkan audiens konferensi bahwa Indonesia telah memiliki mekanisme perlindungan terhadap pembantu rumah tangga migran yang didukung oleh regulasi dan institusinya.

Kenyataannya, eksekusi terhadap Ruyati terjadi hanya berselang beberapa hari saja sejak pidato sakti SBY itu!

RESPON ala BNP2TKI
Seorang pejabat BNP2TKI yang memegang tanggung jawab tertinggi terang-terangan menghindari wawancara media dan memilih untuk merespon pertanyaan media melalui pesan singkat. Sementara pejabat lain yang bersedia diawancarai sejumlah televisi terkesan seorang komunikator yang buruk lantaran cara bicaranya yang defensif, emosional dan menggebu-gebu. Sementara seorang ibu pejabat yang lain menyampaikan informasi yang tak kalah membingungkan. Menurutnya, bahwa BNP2TKI hanya bertugas menangani tenaga kerja Indonesia yang berada di dalam negeri. Urusan TKI yang berada di luar negeri menjadi tugas Kementerian Luar Negeri. Hahahaha....

RESPON ala KEMENTRIAN LUAR NEGERI
Sementara sikap kementerian Luar Negeri lebih mengejutkan lagi. Marti Natalegawa, sang menteri bersikukuh dengan keterangannya bahwa Kementerian Luar Negeri pun tidak mengetahui jadwal eksekusi Ruyati. Dalam hal ini terkesan bahwa Kementerian Luar Negeri tidak menyadari bahwa, ketidaktahuannya perihal perkembangan mutakhir kasus Ruyati merupakan kesalahan itu sendiri. Menlu terkesan sekali terus berkonsentrasi pada ketidaktahuannya itu sebagai sesuatu di luar kendalinya dan bukan sebuah kelalaian yang serius.

RESPONS ala SBY
Belum lama ini SBY terlihat begitu geram saat menanggapi insiden sms 'fitnah' mengenai dirinya. Insiden itu memang tidak terlepas keterkaitannya dengan kasus dugaan penyuapan yang dilakukan bendahara partai bintang berbendear biru yang diampuhnya. Singkat cerita kasus yang sarat dengan nuansa politik itu membuat SBY serta merta menggelar jumpa pers mendadak di Bandara Halim Perdanakusuma demi mempertahankan citra dan nama baiknya.

Intinya adalah, bila menyangkut masalah personal SBY bisa begitu responsif, mengapa untuk kasus yang sangat krusial menyangkut rakyatnya SBY begitu acuh? Artinya, apakah persoalan personal menjadi lebih penting ketimbang persoalan yang menimpa rakyatnya?

MENDESAK : PRESIDEN BUTUH PR
Bahkan sejumlah nama besar yang pernah menjadi presiden negara adi kuasa, seperti Amerika Serikat saja memiliki tim Public Relations untuk membantunya. Mereka berperan sejak debat calon presiden hingga sang jagoan berhasil memenangkan pertarungan pemilihan presiden. Berbagai kisah sukses dan strategi PR yang dirumuskan oleh tim PR Kepresidenan negara adi daya ini tak jarang menjadi bahan diskusi menarik di kelas2 fakultas komunikasi di berbagai perguruan tinggi.

Sebagai seorang pemimpin, terlebih saat ini, SBY jelas membutuhkan strategi PR yang tepat untuk memperbaiki reputasinya yang semakin menyudutkannya. Namun menyangkut kasus Ruyati ini, SBY membutuhkan strategi PR dengan pendekatan hukum yang komperehensif, "Litigation Public Relations."

LITIGATION PUBLIC RELATIONS
Secara teori, sasaran Litigation PR meliputi :
  1. Counteracting negative publicity;
  2. Making a client's viewpoint know;
  3. Ensuring balanced media coverage;
  4. Helping the media and the public understand complex legall issues;
  5. Defusing a hostile environment;
  6. Helping resolve the conflict (Fitzpatrict, 1996)
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaiotu :
  1. Langkah pertama adalah membangun kredibilitas dengan media sebagai sebuah sumber informasi;
  2. Langkah berikutnya adalah mengendalikan laju informasi media sehingga pesan yang tepat tersampaikan;
  3. Langkah ketiga, adalah mengembangkan sebuah pesan yang mendukung posisi tawar organisasi dan menyampaikannya kepada media dan publik.
[To achieve those objectives, the first step is to establish credibility with the media as an information source. The next step is to control the flow of information to the media so that the right message gets out. The third step is to develop a message that supports the client’s position and get that message out to the media and the public (Fitzpatrick, 1996, Haggerty, 2003, Reber, Gower, & Robinson, 2006)]

Seperti halnya ilmu praktis lainnya dalam  komunikasi khususnya PR, Litigasi PR maupun CSR pada prinsipnya merupakan wujud dari kegiatan-kegiatan internal dan eksternal PR. Public Relations, jurnalistik, penerangan, dll. merupakan ilmu terapan dari keilmuan komunikasi. Bisa jadi, litigasi PR maupun CSR selama ini telah dilakukan dalam kegiatan keseharian PR organisasi. Namun dalam hal ini, proses ini selanjutnya dilakukan dalam sebuah kerangka yang lebih baku atau state of being. Sebuah perguruan tinggi swasta di Indonesia bahkan telah menjadikan ilmu CSR ini sebagai sebuah program studi master.

Apapun itu bentuknya,sebagai sebuah ilmu pengetahuan, komunikasi adalah sebuah ilmu yang juga terus mengalami perkembangan. Kemajuan teknologi dan kompleksitas kehidupan peradaban manusia pun mempengaruhi perkembangan ilmu PR menjadi lebih kaya dimensi.
Published with Blogger-droid v1.7.1

Tuesday 14 June 2011

DASYATNYA PROFESI PR

DISKUSI KELAS
Suatu ketika, saat saya mengikuti kegiatan les seperti biasa, saya mengalami sebuah pengalaman yang sesungguhnya sangat menarik dan inspiratif.
Singkat cerita, saya bergabung dalam sebuah kelas diskusi pelatihan berbahasa Inggris. Di dalam kelas itu ada seorang guru dan delapan siswa, satu di antaranya adalah saya. Seluruh siswa berkesempatan melatih kefasihannya berdiskusi dan berdebat dalam Bahasa Inggris selama satu jam. Setiap kelas diskusi diikuti oleh peserta yang berbeda dan dengan topik yang berbeda pula. Seperti biasanya, sebelum diskusi kelas dimulai maka setiap peserta diminta untuk memperkenalkan dirinya.

Kebetulan kedelapan siswa yang hadir saat itu adalah para pekerja profesional yang relatif sudah cukup berpengalaman. Maka, satu demi satu pun di antara kami saling memperkenalkan diri. Ada seorang insinyur yang bekerja pada sebuah perusahaan konsultan, ada seorang praktisi hukum yang bekerja pada sebuah firma hukum, ada seorang auditor yang bekerja di sebuah perusahaan akuntan publik, ada seorang manajer pemasaran dari sebuah perusahaan pengembang terkenal, ada seorang teknisi yang bekerja pada sebuah perusahaan elektronik Jerman, ada seorang ahli kimia yang bekerja sebagai dosen, ada seorang psikolog, dan ada saya,  seorang praktisi humas yang tidak pernah memperkenalkan profesi saya pada setiap kesempatan kecuali saat menghadiri kegiatan yang berurusan dengan urusan kantor.

Saat tiba giliran saya, saya hanya mengkiaskan perusahaan saya saja sebagai "money maker". Saat itulah 'diskusi' ice-breaking mulai bergulir. Salah seorang peserta yang kebetulan seorang auditor dengan sangat yakin bertanya dengan nada retoris, bahwa bukankah perusahaan "money maker" adalah perusahaan A dan bukan perusahaan di mana tempat saya bekerja ? Berikutnya ia mengungkapkan fakta-fakta lain tentang perusahaan A untuk semakin menguatkan dugaannya. Ternyata, sebagai auditor beliau pernah melakukan audit di perusahaan A yang nota bene pernah saya singgahi lebih sepuluh tahun lalu saat saya memulai debut saya memasuki dunia kerja profesional.

Maka diskusi ice-breaking saat itu pun berlangsung sangat menarik. Siswa-siswa yang lain pun tak kalah antusias dan hanya terbengong-bengong saat mengetahui hal besar yang selama ini tidak pernah mereka ketahui tentang kehebatan bangsa ini menyangkut "money maker" ini . Maka diskusi yang terjadi antara saya dengan sang auditor pun menjadi semakin menarik dengan banyak keingintahuan dan reaksi. Ia merasa begitu penasaran dan terus mengejar serta memberondong saya dengan berbagai pertanyaan. Dan saya, meladeni semua pertanyaannya sesuai fakta, obyektif dan rasional dengan tenang dan biasa-biasa saja.

"KAMU PR ATAU APA ?"
Diskusi mulai menurun ekskalasinya saat sang auditor telah mendapatkan banyak informasi baru yang belum pernah ia dapatkan. Apa yang beliau yakini tentang perusahaan A dapat saya klarifikasi karena saya pernah berada di sana. Bukan sekedar berada di sana, selama dua setengah tahun lamanya saya pernah menjadi sekretaris VP yang tak lain adalah pemilik perusahaan. Jadi saya bekerja pada pewaris perusahaan A yang dimaksud sang auditor. Sementara kekeliruan informasi yang beliau pahami selama ini dapat saya luruskan karena saat ini saya berada di sini. Dan beliau, sang auditor seperti tidak tahu lagi hendak bertanya apa karena semua pertanyaannya telah saya jelaskan secara gamblang sesuai kebutuhannya sebagai orang awam. Tapi beliau masih tampak penasaran dengan semua penjelasan yang saya sampaikan hingga akhirnya ia tidak kuasa lagi untuk menahan rasa penasarannya itu dan berujung pada pertanyaannya yang to the point, "Memangnya kamu bekerja sebagai apa ? Kok kamu tahu segala sesuatunya secara persis bahkan hingga hal-hal teknis ? Apakah kamu seorang PR (public relations) atau apa ?" Saat akhirnya saya pun menjawab, "Yes, I am a Public Relations" Maka sang auditor pun tersenyum sembari berguman ... "Oh.. pantas..." dibarengi gumanan serta helaan nafas panjang para siswa yang lain. Hehehehe ....

Begitulah, betapa dasyatnya peranan seorang Public Relations ! Simak saja bagaimana ekskalasi diskusi itu bergulir, dan saya tak terpatahkan dengan kesangsian dan berondongan pertanyaannya.

Inti catatan pendek ini bukan tentang saya, tapi tentang kekuatan sebuah profesi dalam mengubah pengetahuan pada tingkatan yang paling dasar (kognitive), sikap (afective) bahkan hingga perilaku (behaviour) manusia. Dan profesi yang mampu melakukan itu salah satunya adalah seorang PR !

Seperti halnya yang dialami oleh sang auditor dengan pengetahuannya dan pengalamannya yang mungkin tidak lengkap bahkan keliru yang berhasil dikoreksi secara 'fair' hingga akhirnya sang penanya menarik kesimpulannya sendiri dengan 'tuduhan'nya, "Apakah anda seorang PR atau apa?"

Mengapa ia langsung menuduhkan profesi PR ? Karena ia tahu, bahwa posisi yang dapat menjelaskan mengenai seluk beluk perusahaan a to z secara baik adalah seorang PR atau humas, bukan yang lain. Dan simak pula kesimpulan yang dapat dipetik dari pengalaman diskusi ini. Bahwa sebuah persepsi yang keliru dapat diluruskan oleh peran vital seorang PR. Jadi bayangkanlah betapa dasyatnya peranan seorang PR.

PR BUKAN CORONG PERUSAHAAN
Corong adalah alat. PR adalah salah satu fungsi manajemen yang melakukan komunikasi dua arah kepada publik internal dan publik eksternal berdasarkan hubungan yang saling menguntungkan untuk membangun citra dan reputasi perusahaan yang positif.

PR bukan corong perusahaan, istilah itu hanyalah bentuk penyederhanaan tentang fungsi PR yang kerap digunakan orang awam. Sesungguhnya peran PR sangat strategis serta berada pada tataran manajerial dan bukan pada area teknis sebagaimana yang dipahami selama ini. Karenanya, untuk dapat menjalankan fungsinya maka PR dituntut menguasai seluk beluk organisasi/perusahaan dan mengikuti kronologis setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan strategis perusahaan. Sadarkah anda, bahwa sesungguhnya peranan PR yang optimal dan efektif mampu menciptakan sebuah perubahan yang sangat besar ? Persoalannya, mampukah dunia kerja memahami potensi dan kekuatan yang mampu dimainkan oleh seorang profesional PR ? Sebaliknya, sadarkah para praktisi PR tentang kekuatan peranan profesinya sebagai seorang PR bagi stakeholdernya ? Jadi, sehebat apakah organisasi anda mampu memberdayakan PR bagi kemajuan dan membangun reputasi yang nyata ? Dan, sedasyat apakah pula anda sebagai seorang PR ? Jangan sampai anda berada di tempat yang tidak memiliki keduanya ... !!!

Thursday 9 June 2011

STRATEGI HUMAS ala STRATEGI PEMASARAN

Senin, 6 Juni 2011, pagi, seantero Jakarta dihebohkan dengan kiriman paket peti mati. Adalah perusahaan Buzz & Co yang telah mengirimkan paket peti mati ke sejumlah kantor media, perusahaan jasa konsultan humas serta sejumlah individu yang terbilang aktif beraktivitas di dunia maya.

Apa yang dilakukan Buzz & Co dengan peti matinya tak pelak membuat perbincangan di banyak kalangan, baik di antara para 'korban' yang telah dikirimi paket peti mati, para praktisi komunikasi maupun para mahasiswa komunikasi. Namun yang paling menggelitik justru, para profesional komunikasi pada salah satu mailistnya cenderung apriori terhadap kasus peti mati Buzz & Co. Padahal, ada banyak hal menarik yang dapat dipetik dari kasus peti mati Buzz & Co. Selain itu, tentu kasus Buzz & Co dengan peti matinya menjadi sebuah kasus yang layak untuk ditelaah secara ilmiah dan obyektif.

KREATIVITAS TAK BERBATAS
Sumardi, CEO Buzz & Co, perusahaan yang bergerak di bidang jasa komunikasi dan periklanan pun tak urung harus berurusan dengan polisi untuk dimintai keterangan perihal kririman paketnya yang kontroversial dan dianggap meresahkan.

Berdasarkan informasi yang berkembang kemudian diketahui, bahwa Sumardi ternyata belum lama mengoperasikan Buzz & Co, yang kantornya menempati salah satu ruang di Senayan Trade Center, Jakarta Selatan. Tidak hanya itu, Sumardi ternyata berniat meluncurkan sebuah buku karangannya yang berjudul "Rest in Peace Advertising : The Word to Mouth Advertising".

Sumardi sang CEO yang jebolan Master Pemasaran Universitas Gajah Mada kiranya tahu betul bahwa ia perlu melakukan sesuatu yang beda, inovatif dan spektakuler untuk membuat bukan hanya perusahaannya Buzz & Co dikenal orang, tapi juga bukunya laris diburu pembeli. Maka, ia pun mencoba berpikir out of box, untuk mewujudkan maksudnya.

Kreativitas memang tak terbatas, namun kreativitas harus cerdas agar tepat sasaran agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Hal inilah yang patut dipahami dan dipelajari dalam mengevaluasi kasus peti mati Buzz & Co.

AIDA vs PETI MATI
Menyoal pengiriman peti mati oleh Buzz & Co ada beberapa hal yang perlu diketahui, antara lain :
  1. Perusahaan Buzz & Co, adalah perusahaan yang baru mulai beroperasi;
  2. Bersamaan dengan dioperawsikannya perusahaan Buzz & Co, Sumardi, berniat meluncurkan buku karnya yang berjudul "Rest in Peace Advertising : The Word to Mouth Advertising"
  3. Sumardi, CEO Buzz & Co menurut tulisan sebuah media on line diketahui memiliki latar belakang akdemisi cukup baik, master pemasaran di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
  4. Sebagai pemilik sebuah perusahaan baru dan penulis buku baru yang akan diluncurkan, ia perlu melakukan strategi untuk memasarkan apa yang hendak ia tawarkan, yaitu jasa konsultasi komunikasi dan periklanan 
Rumus AIDA dalam praktek komunikasi merupakan hal yang sangat populer dan lazim menjadi acuan dalam menyusun strategi komunikasi. Rumus AIDA meliputi 4 (empat) tahap, yaitu Attention (Perhatian), Interest (Menarik), Desire (Hasrat) dan Action (Tindakan). Selain AIDA, dikenal pula apa yang disebut AISAS yang meliputi Attention, Interest, Search, Action, Share. Namun ada pula yang merumuskan sebagai Awareness, Interest, Serachable, dst.

ATTENTION
  1. Mengamati dari kasusnya di awal, diketahui bahwa Sumardi setidaknya mempunyai 3 (tiga) target dengan kegiatan usahanya. Sumardi perlu mempublistaskan dirinya, perusahaannya dan bukunya. Sumardi tampaknya sudah mengupayakan strategi kick-off. Karena selain menerbitkan buku dengan judulnya, "Rest in Peace Advertising : The Word to Mouth Advertising" ia juga telah memiliki web dengan alamat yang sama, http://www.restinpeace.com/ 
  2. Menilik dari judul bukunya, yang bermakna kematian periklanan, maka tak heran bila Sumardi beride soal peti mati. Kenapa ? Karena kematian ya identik dengan peti mati. Peti mati merupakan simbol kematian.
  3. Ingat, Sumardi mengirimkan peti matinya ke sejumlah media massa nasional, sejumlah perusahaan jasa konsultasi komunikasi serta sejumlah individu yang tergolong aktif dan eksis di dunia virtual. Artinya, Sumardi tahu betul kepada siapa ia perlu melemparkan umpannya, agar segera mendapatkan publisitas yang diharapkan sehingga awareness publik pun terbentuk, apapun cara dan nilainya. 

INTEREST
  1. Sesuatu yang tidak menarik seringkali justru sangat menarik. Tidak percaya ? Amati iklan dalam televisi atau radio selama ini. Tak jarang, sebuah iklan yang sangat norak dan kampungan, justru ditayangkan berulang-ulang di bagian ter-noraknya hingga 3 (tiga) kali. Akibatnya, kenorakannya justru tertanam sangat kuat dalam benak penonton bukan ? Memang, dalam hal ini kekuatan repetisi atau pengulangan menjadi faktor yang turut menentukan pesan kenorakan itu tertanam di benak publik. Namun dalam kasus Buzz & Co, pilihan Sumardi mengirim peti mati harus diakui sangat spektakuler dan membuat publik langsung terkesima dalam hitungan detik.
  2. Tengoklah isi peti mati. Sumardi mengirimkan peti mati yang berisi taburan kembang dan setangkai mawar putih, juga disertai selembar kertas bertuliskan http://www.restinpeace.com/ you are number#661. Hahaha ... tentulah siapapun yang membaca itu menjadi ciut hatinya. Menarik ? Tentu ...
DESIRE
  1. Segala hal yang spektakuler selalu menimbulkan rasa penasaran bukan ? Sudah menjadi sifat manusia memang seperti itu, ingin tahu, ingin mencoba sesuatu yang baru. Tapi, lantaran strategi yang nyeleneh apakah selama ini telah terbukti membuat produk yang ditawarkan menjadi tidak laku ? Belum tentu !
  2. Apakah strategi Buzz & Co terhitung menimbulkan desire ? Bisa jadi ! Peluangnya menimbulkan penasaran dengan penolakan atas sikap publik sama besar 50 : 50. Jadi, strategi Buzz & Co sejujurnya merupakan strategi yang terhitung inovatif, walau tetap dengan sejumlah catatan.
ACTION
  1. Tindakan publik yang diharapkan terhadap aktivitas Buzz & Co - hasil akhirnya memang belum semuanya terlihat. Namun coba perhatikan, sebagai perusahaan baru kebutuhan Buzz & Co untuk dikenal baik secara institusional maupun personal CEO-nya telah tercapai dengan strategi inovatif yang diluncurkan Buzz & Co. Artinya, Buzz & Co berhasil membangun kesadaran publik tentang keberadaan perusahaannya yang masih baru, juga memperkenalkan Sumardi sebagai CEO. Publik bahkan telah mengenal web Buzz & Co berkaitan dengan buku yang ditulis oleh Sumardi sang CEO. Terakhir, yang diharapkan CEO adalah publik akan membeli buku yang akan dirilisnya dalam waktu dekat.
  2. Publik diharapkan juga mengunjungi situs http://www.restinpeace.com/ Tak perlu diragukan lagi, dengan maraknya pemberitaan media akibat ulahnya yang sangat spektakuler, maka besar kemungkinannya publik akan sangat penasaran dan langsung mengujungi situs http://www.restinpeace.com/ sementara buku karyanya belum diluncurkan.

EVALUASI
  1. Strategi pemasaran berbeda dengan strategi kehumasan. Melihat kasusnya, sebagai perusahaan baru, Buzz & Co membutuhkan publisitas untuk membangun brand awarenes, kesadaran publik akan keberadaan diri CEO, organisasi dan produk/jasa yang ditawarkan.
  2. Strategi pemasaran dalam kasus ini memang dibutuhkan, namun sebagai perusahaan baru, maka yang dibutuhkan paling awal tentulah strategi kehumasan. Logikanya, mustahil orang melakukan transaksi pembelian bila tidak mengenal produknya, meyakini perusahaannya, dan mempercayai reputasinya.
  3. Pendekatan strategi pemasaran dan strategi kehumasan tentulah berbeda. Strategi pemasaran mungkin saja pendekatannya lebih pada kreatif - ekonomi dengan prinsip-prinsip ekonominya. Sementara strategi kehumasan landasannya adalah human relations, hubungan manusiawi. Artinya, proses kreativitas yang dilakukan pun akan berada dalam koridor nilai-nilai manusiawi.
Bagaimanapun, kreativitas Sumardi dalam merumuskan idenya patut diakui sebagai sebuah ide yang orisinil dan brilliant ! Keberanian Sumardi dalam mewujudkan idenya pun tak kalah mengagumkan ! Namun kasus peti mati oleh Buzz & Co ala Sumardi ini tidak saja menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi praktisi di industri komunikasi tapi juga bagi mereka para ahli di bidang pemasaran, yaitu :
  1. Bahwa pendekatan komunikasi khususnya humas (public relations) sangatlah berbeda dengan pendekatan pemasaran (marketing);
  2. Bahwa untuk memperkenalkan sesuatu atau identitas yang baru, perusahaan perlu mengetahui betul kebutuhannya yang paling relevan;
  3. Bahwa untuk membangun kesadaran publik mengenai keberadaan sesuatu hal yang baru, dibutuhkan strategi komunikasi, khususnya pendekatan humas untuk membangun brand awareness;
  4. Bahwa pendekatan akan jauh lebih mudah dilakukan bila brand awareness telah terbangun;
  5. Semakin kreatif konsep sebuah ide, maka dibutuhkan uji kelayakan yang lebih kaya dan multidimensi agar tidak menimbulkan salah persepsi.

PERKEMBANGAN KASUS PER AGUSTUS 2011
Seorang kawan pada kesempatan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Sampul buku itu cukup menarik seperti komik atau novel cerita horor. Setelah diamati, ternyata buku itu adalah buku "Rest in Peace Advertising : The Word to Mouth Advertising". Ternyata ia memperoleh buku karya Sumardi itu rupanya pemberian langsung dari Si Penulis lengkap dengan tanda tangannya.

Semakin dibuka dan dibaca, buku itu sungguh semakin menarik. Disain di setiap halamannya sungguh berbeda dengan buku-buku lain pada umumnya. Buku itu dicetak berwarna di setiap lembar halamannya dengan visualisasi yang luar biasa ! Hebatnya lagi, ternyata Sumardi, sang penulis, melakukannya sendiri tanpa bantuan seorang desainer.

Saat Sumardi diundang untuk memberikan presentasi perihal pemasaran, sembari berkelakar sang kawan meminta Sumardi mengirimkan peti mati ke kantornya. Kala presentasi berlangsung, tanpa ragu Sumardi pun menyampaikan presentasinya sambil berdiri di atas peti mati kirimannya ! Wow ! Dan kini, Sumardi telah dalam proses cetak buku karyanya, revisi ke-3 ! Jadi, siapa bilang bukunya tidak laku ?

Mengamati kronologis 'kasus' peti mati Buzz & Co ala Sumardi ini, sejak awal dapat diketahui bahwa pada setidaknya Sumardi membutuhkan 3 (tiga) hal sebagai target untuk memulai usahanya, yaitu :
  1. Publik mengenal keberadaan perusahaan barunya, "Buzz & Co";
  2. Publik mengenal dirinya, Sumardi, CEO "Buzz & Co";
  3. Publik membeli buku karyanya, "Rest in Peace advertising : The Word to Mouth Advertising", dan publik mengunjungi situsnya, www.restinpeace.com
Setelah sebulan berlalu, bagaimana hasilnya ? Tak diragukan lagi, apa yang ditargetkan Sumardi telah tercapai. Publik telah mengenal keberadaan perusahaannya, "Buzz & Co" hanya dengan hitungan hari sejak pemberitaan itu ramai tersiar di semua media. Publik pun langsung mengenali sosok pemuda putih berperawakan kurus ini sebagai Sumardi, CEO "Buzz & CO" dengan pemberitaannya  yang hilir mudik ke kantor polisi akibat perbuatannya. Itu pun toh tidak membuatnya menjadi bermasalah serius dengan kepolisian bukan ? Karena pada dasarnya apa yang dilakukan Sumardi bukanlah sesuatu yang mungkin memenuhi kelayakan sebagai sebuah kasus hukum. Situsnya ? Pastilah langsung dikunjungi oleh banyak orang lebih-lebih oleh mereka yang sangat menyenangi selancar di dunia virtual. Bukunya, mencetak revisi ke-3 sejak dijual hanya dalam waktu 2 (dua) minggu, itu sudah membuktikan betapa semua strategi pemasaran yang diupayakan Sumardi pada dasarnya telah berhasil dilakukan.

Jadi, sikap appriori itu seharusnya tidak perlu ada. Sikap appriori dari para praktisi komunikasi khususnya profesional humas sesungguhnya mencerminkan betapa tidak terbukanya pola pikir terhadap hal-hal baru. Padahal, hal-hal baru itu bisa jadi sebagai sumber inspirasi untuk mengahsilkan hal-hal lain yang tak kalah besar dan inovatif. Intinya, apa yang dilakukan Sumardi pada dasarnya 100% berhasil. Namun, andai saja Sumardi merumuskannya dengan mempertimbangkan pendekatan strategis komunikasi khususnya humas, tentu strategi Sumardi akan diterima tanpa menimbulkan 'insiden kecil' sebagaimana yang dialaminya.

  1. Re-design 'orginality' ; Penting untuk melakukan kompromi dengan orisinalitas ide yang dimiliki. apalagi bila ide itu benar-benar spektakuler. Sebenarnya dengan mengirimkan peti mati dalam ukuran yang lebih kecil, Sumardi sudah melakukan upaya kompromi itu. Namun, besar kemungkinannya pertimbangannya adalah masalah biaya, bukan pertimbangan ilmiah. Seorang anggota mailist dalam komunitas praktisi humas berkomentar, andai saja peti mati itu dikirim dengan warna yang menarik seperti pink (merah muda) atau warna-warna lainnya, tentu ceritanya menjadi lain.
  2. Timing & totality ; ketimbang mengirmkan peti mati dengan isi setangkai bunga mawar putih dan secarik kertas yang sangat intimidatif, akan lebih efektif bila Sumardi mengirmkan peti mati berisi buku karyanya. Cara ini akan jauh lebih dapat diterima sebagai sebuah konsep "product launching" yang out of the box. Tapi dengan pola yang dilakukannya awal Juni lalu, eksekusi konsep Sumardi menjadi terkesan terlalu kuat untuk sesuatu, dalam hal ini buku, yang ternyata belum beredar di pasaran. Artinya, momentum atau momment yang telah diciptakan Sumardi menjadi antiklimak. Ibarat  balon meletus tanpa sisa. Kondisi itu akan berbeda bila saat Sumardi mengirimkan peti mati, buku karyanya ada di dalamnya. Atau setidaknya, di hari yang sama buku karyanya sudah tersedia di toko-toko buku. Tapi tentu, soal kemasan peti mati perlu dipoles agar lebih reasonable to be accepted as a different good .....
Bagaimana menurut anda ?


Published with Blogger-droid v1.7.4

Wednesday 4 May 2011

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN TINGGI
Sekitar dua hari lalu, sebuah rubrik harian nasional memuat tulisan seorang psikiater/psikolog (saya lupa persisnya) profesional yang berbagi mengenai temuannya berdasarkan fakta yang diperoleh dari sejumlah mahasiswa. Tanpa bermaksud mengungkapkan rahasia pasiennya, beliau sangat prihatin dengan fenomena yang ia temui hasil keluhan para mahsiswa tersebut.

Singkat cerita, ada sejumlah mahasiswa kedokteran yang mengeluhkan metode belajar yang di'ajar'kan oleh universitas tempat para mahasiswa ini belajar. Para mahasiswa kedokteran ini banyak diajar oleh para dosen 'terbang'. Alhasil karena jarak dan kesibukan yang mungkin menyulitkan, alhasil para mahasiswa ini banyak belajar secara telekonferens yang tentu banyak kendalanya sehingga menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak optimal.

Beliau pun mempertanyakan keseriusan berbagai pihak dalam memantau sejumlah perguruan tinggi swasta/negeri yang tampaknya selama ini kesulitan menyelenggarakan proses belajar mengajar yang layak bagi para mahasiswanya. Dengan kata lain, bia tidak mampu menyelenggarakan program studi kedokteran, ya jangan membuka rogram tersebut demi gengsi. Akibatnya, jangankan para calon pasien dari para calon dokter itu yang merasa ragu dan was-was dengan kemampuan para calon dokter tersebut, para mahasiswa calon dokter itu sendiri pun merasa tidak puas dengan ilmu yang mereka peroleh selama ini karena dianggap tidak optimal.

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN TINGGI BIDANG HUMAS
Tak berbeda jauh dengan yang terjadi pada program pendidikan kedokteran. Program pendidikan di bidang kehumasan pun sesungguhnya tak kalah memprihatinkan. Profesi Humas (PR) yang sangat menjanjikan di masa depan, membuat banyak perguruan tinggi kini berlomba-lomba membuka program atau jurusan humas di institusinya.

Namun itu tadi, dunia pendidikan kini telah berubah menjadi sebuah ajang bisnis belaka. Sejumlah perguruan tinggi bisa jadi hanya sibuk mengejar quota, jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya demi meraup keuntungan uang kuliah dan sebagainya. Namun mereka melupakan, bahkan mungkin mengabaikan bahwa mereka mempunya kewajiban untuk menjaga kualitas kelulusannya.

Indikasi menurunnya dunia pendidikan tinggi saat ini terlihat dari berbagai gejala, antara lain :
  1. Tes masuk perguruan tinggi yang relatif mudah dan hanya formalitas belaka;
  2. Periode waktu kuliah yang tidak sesuai dengan ketentuan DIKTI. Dalam hal ini ada perguruan tinggi yang menyelenggarakan kuliah tingkat sarjana dengan mekanisme semester pendek (1,5-2 bulan), sejak semester 1 hingga akhir menjadi sarjana untuk menyelesaikan sekitar 150-160 sks;
  3. Mekanisme penilaian yang ditentukan oleh perguruan tinggi lebih menekan pengajar (agar memberikan nilai baik) bukan kepada mahasiswa.  Artinya, mahasiswa tidak dibekali pengetahuan proses belajar mengajar termasuk mekanisme perolehan nilainya. Akibat metode yang tidak transparan seperti ini, maka terbukalah peluang untuk memberikan nilai secara manipulatif berjamaah yang harus dilakukan oleh para pengajar;
  4. Prosedur mata kuliah. Perguruan tinggi tidak lagi menetapkan ketentuan yang ketat perihal birokrasi mata kuliah yang menjadi prasyarat bagi mata kuliah lainnya yang lebih kompleks. Artinya, mahasiswa dapat menyusun mata kuliah sesuka hatinya tanpa mengawalinya dengan mata kuliah yang paling dasar. Akibatnya, terjadi gap pada proses belajar mengajar karena mahasiswa tidak menguasai ilmu yang disyaratkan sebelumnya;
  5. Tidak disiplin. Para mahasiswa tidak memiliki kewajiban untuk hadir di ruang belajar tepat waktu. Akibatnya mahasiswa merasa tetap berhak mengikuti proses belajar walau proses belajar akan berakhir; 
  6. Etika perguruan tinggi. Perguruan tinggi membiarkan mahasiswanya mengikuti proses belajar mengajar tanpa memperhatikan etika dan kesopanan. Hal ini terlihat pada gaya busana para mahasiswa yang tidak dapat membedakan gaya busana belajar dengan busana saat bermain;
Demikian realita yang terjadi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Hal ini masih diperparah dengan rendahnya kemampuan interaksi sosial dan minimnya wawasan para mahasiswa mengenai informasi yang berkembang saat ini yang relevan dengan dunianya, dunia pendidikan.

Tentu, hal ini menjadi sangat sulit bila tanpa disertai kerja keras pemerintah melalui DIKTI khususnya untuk mengawasi perkembangan dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Bila hal ini terus diabaikan, maka bisa jadi hanya orang-orang yang kaya namun bodoh saja yang bisa kuliah di negeri ini. Pertanyaannya, kalau begini, bila anda sakit maukah anda diperiksa oleh seorang dokter yang ternyata tidak pernah kuliah ?

Wednesday 27 April 2011

FLAG CEREMONY or TEA MORNING ?

MODERN vs OLD STYLE
A government company that is very conservative, has already built its internal communication through flag ceremonies such as independence day, mothers day, education day, ect. for decades. Suddenly, management has been changed, new CEO has come and new policies has been enacted. Hence, they replace the internal communication through the flag ceremonies with something new that is more modern and sophisticated. They've just said it as a breaktrough.

They argue that flag ceremony is such an uncomfortable programme to be choosen. Ceremony participants  will feel heat and they will not seriously pay attention and listening to the speech of the coach of ceremony. It means that they will not get the message loud and clear.

Then, the CEO holds tea morning that is arranged as a monthly event to replace the flag ceremonies program. Tea morning programme has been followed by dozens participants, less than hundreed and far from the whole employee that totaling thousands of people. Tea morning program is held at the hall or meeting room with air conditioning and served by tea, coffee and snacks.

So, everything has gone well, at the beginning. The employees share and complaint their problems and the CEO listening. The good things of this programme are, the CEO will find out the up to date situation of the company, its production's progress, even their employees condition. But the problem is, listening without solution after the meeting that is a big mistake !

Finally, the employees only be able to share and hope but without significant solution. However, one employee could be share more than one problem. Moreover, one problem could be difficult to be solved within a day, even a week, even a month, even a year by the CEO ! Nowadays, CEO has already decided to held a flag ceremonies again. Hm ....

In this case, CEO has made a policy without learning and observe their internal public's characteristic and needs correctly. On the contrary, while the CEO hold a new program that is not suitable enough with the characteristic of their internal public, hence they only create their own problems. Unfortunetaly, the problem will be getting worse while the management system itself has not been able to be counted on yet.

FLAG CEREMONY vs TEA MORNING
Although both of the flag ceremony and tea morning as same as a face to face programme, but they have different impact. Flag ceremony is a such as a one-way communication programme and tea morning  is such as a two-way communication programme.

As a one way communication programme, flag ceremony is effective to share the company's policy. The CEO speaking and the employees listening the CEO's speech. On the other hand, as a two way communication programme, tea morning event is effective to explore or to get the ideas of public's desire. Tea morning programme gives opportunity to the whole participants to chat or discuss each other in appropriate way. But, it requires an appropriate response and solutions too.

CONCLUSION
  1. Identifying what the company's need. It is very important to know what the company's aim within the organiszation. Do they want to share, to convince or to change something, value, behaviour or anything else that requires different medium or tools;
  2. Observe the characteristic of the audience. Find out the audience's profile is the key to choose the best medium to be used during the communication proccess;
  3. Frequence & Repetition. How often company's need to communicate its message to the audience is depend on the quality and intensity of the aim of message;
Above of all, the most important thing, PR and CEO needs to create the best strategy to communicate to their stakeholder. That's why, PR has to learn and observe the characteristic of their audience before decide and formulize the program. Hence, PR ought to works based on research.
Modern is okay, sophisticated is good, but it doesn't mean that everything that is modern and sophisticated is suitable to be done. Learning the company's culture and its climate is important. Find out the demography's profile of the employee will help PR to design the best strategy to communicate to the employee.

Tuesday 15 March 2011

SENSE OF BELONGING

Dalam jagad kehumasan, dikenal apa yang disebut dengan "SENSE OF BELONGING" alias rasa memiliki. Tentu, yang dimaksud dengan "rasa memiliki" di sini adalah rasa memiliki publik internal terhadap organisasi, institusi tempat mereka berkarya. Jadi, besarnya kepedulian publik internal, baik itu pegawai, keluarga pegawai, BOD, komisaris maupun para pensiunan terhadap perusahaan itulah yang disebut dengan rasa memiliki. Rasa memiliki publik internal juga diwujudkan dengan rasa kebanggaan pegawai terhadap perusahaannya termasuk fanatismenya, tentu dalam artian yang positif.

Namun rupanya ada hal yang berbeda dalam memanifestasikan, mewujudkan rasa memiliki ini, khususnya antara mereka yang berada di sebuah organisasi swasta dengan mereka yang berada di organisasi atau institusi pemerintah.

Bagi mereka yang berkarya di organisasi atau perusahaan swasta, rasa memiliki ini diwujudkan dengan rasa kebanggaan pada institusi serta keseriusan mereka dalam bekerja sebagai seorang profesional sejati. Sementara bagi mereka yang berkarya di organisasi atau institusi pemerintah, maka wujud kecintaannya termanifestasikan dalam bentuk loyalitas dan kepedulian, kecintaan yang signifikan atas kelangsungan organisasi hingga terbebas dari ancaman dan keterpurukan atau keteraniayaan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi tersebut sebagai tunggangan untuk keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab.

Fenomena ini sungguh menarik. Artinya, sebuah energi yang sangat besar mengenai satu hal yang sama dapat muncul dalam bentuk yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena situasi dan kondisi masing-masing organisasi tersebut memang berbeda sehingga energi yang ada seolah dengan sendirinya mengarah pada hal-hal tertentu secara otomatis.

Sebuah organisasi atau perusahaan swasta, kepemilikannya sangat jelas, yaitu berujung pada personal yang nyata. Walaupun sebuah organisasi dimiliki secara kolektif atau lebih dari satu orang, namun, orangnya nyata, ada, terlihat.

Namun bandingkan dengan organisasi atau institusi pemerintah yang kepemilikannya imaginer, alias tidak ber-orang melainkan negara atau pemerintah. Artinya, kendalinya sungguh sangat longgar. Dalam arti, kendalinya berpeluang sangat relatif bahkan bisa hilang kapan saja.

Dalam prakteknya, mempertahankan sense of belonging dalam sebuah organisasi yang kepemilikannya imaginer seperti ini tentu sangat sulit. Tidak adanya personal yang memiliki organisasi tersebut secara kasat mata menyebabkan organisasi tersebut seperti tidak ada yang punya dan tak ada yang mempedulikan nasibnya dari kecurangan apapun. Pada situasi inilah, rasa memiliki yang berhasil diwujudkan dalam organisasi ini menjadi begitu kaya akan nilai-nilai spiritual dan emosional yang amat tinggi.

Idealisme, menjadi nilai yang amat mendasar pada 'rasa memiliki' di antara para pegawai yang berada di institusi atau organisasi pemerintah. Dalam dunia empiris, hal ini tentu menjadi muskil. Adalah sebuah realita bahwa tidak ada idealisme dalam dunia empiris. Namun dalam kasus ini, bagi institusi atau organisasi perusahaan miliik pemerintah, maka membangun 'rasa memiliki' tanpa menanamkan nilai-nilai ideallisme justru sebaliknya, menjadi semakin sulit.

Nasionalisme, menjadi nilai lain yang tak kalah kuat dalam benak para insan yang berkarya di organisasi atau isntitusi pemerintah. Namun demikian, kedua hal ini pada kenyataannya hanya menjadi sebuah 'potensi rasa' yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan bila energi tersebut tidak terkelola secara baik sehingga menghasilkan sebuah energi yang positif bagi kemajuan dan kelangsungan organisasi.

KENAIFAN GLOBALISASASI PADA ORGANISASI PEMERINTAH
Memaksakan diri pada organisasi pemerintah untuk berpartisipasi dan menganut asas globalisasi dalam pasar bebas dewasa ini, sesungguhnya teramat naif. Organisasi yang dimiliki pemerintah pada dasarnya bukan sekedar aset melainkan lambang kedaulatan sebuah negara.

Sekiranya membiarkan sebuah organisasi pemerintah terprivatisasi alih-alih menjadikannya profesional bisa jadi justru menyebabkan negara kehilangan martabat dan harga dirinya sebagai bangsa yang mandiri dengan aset-aset standar maupun aset-aset strategisnya, yang belum tentu dimiliki oleh setiap bangsa di dunia.

Hal inilah yang kadang tidak diketahui oleh warga negara, bahkan oleh para individu yang berkarya di institusi atau organisasi pemerintah. Akibatnya, mereka tidak memiliki kecintaan, kebanggaan, dan rasa memiliki terhadap organisasinya.

Membangun bangsa dan negara secara ambisius dan progresif silakan saja, tapi tentu jangan mengabaikan keberadaan dan jati diri menjadi semakin tidak berarti. Membangun sesuatu merupakan hal yang multidimensi, bukan hanya hal yang terlihat dan terukur secara kasat mata saja. Artinya, membangun sesuatu berarti pula adalah membangun semangat manusianya, agar apa yag dihasilkannya menjadi hasil karya yang humanis dan penuh makna.