Tuesday 11 March 2014

LAGI-LAGI SKKNI

Bagi pelaku kegiatan komunikasi khususnya kehumasan, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia atau disingkat SKKNI Bidang Kehumasan rasanya bukanlah sebuah hal yang baru lagi. Namun, sejak disahkan SKKNI Bidang Kehumasan ini pada tahun 2008 lalu, nasib SKKNI Bidang Kehumasan ini sungguh membingungkan. Adakah yang menyadari betapa tak jelasnya aturan, regulasi, mekanisme, whatever, di Negara Indonesia tercinta ini ? Maka bila Ilmu Kehumasan tak bisa menjadi tuan rumah di profesinya sendiri, bisa jadi inilah penyebabnya ....

SKKNI RIWAYATMU DULU
Konon dulu SKNNI disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada 2008 lalu oleh sebuah tim yang terdiri dari berbagai unsur. Tim Penyusun terdiri dari para akademisi, praktisi dan juga jajaran Kementrian Kominfo. Namun anehnya, setelah SKKNI Bidang Kehumasan rampung disusun dan telah disahkan dan terdaftar di Departemen Tenaga Kerja, panduan penting itu tak kunjung berfungsi sebagaimana seharusnya.

Tak ada pula sosialisasi gencar yang menyebarluaskan keberadaan SKKNI Bidang Kehumasan ini pada bidang-bidang terkait, baik dunia kerja maupun pada institusi-institusi pendidikan. Padahal SKKNI Bidang Kehumasan ini bisa jadi adalah salah satu SKKNI yang paling relevan dengan Kementrian yang mempunyai akses paling mudah dan luas untuk melakukan proses sosialisasi itu, Kementrian Kominfo, tetapi mengapa tidak ya ?

SKKNI PUNYA SIAPA ?
Tiba-tiba, setelah lima tahun bergulir, sebuah organisasi profesi menyelenggarakan Sertifikasi Bidang Kehumasan dan sebuah buku mengenai SKKNI Bidang Kehumasan pun diluncurkan di sebuah acara bedah buku oleh organisasi profesi tersebut tak lama setelah lebaran 2013 lalu.

Etikanya, SKKNI adalah menjadi kewenangan pemerintah. Maka yang berhak melakukan sertifikasi atas profesi bidang tersebut dengan sendirinya adalah pemerintah. Kalaupun, adalah pihak ketiga yang kemudian berwenang melakukan sertifikasi tersebut, tentulah harus seijin dan atau atas nama pemerintah.

Berikutnya, bila seorang praktisi humas, merampungkan gelar kesarjanaannya di bidang kehumasan, menyelesaikan gelar masternya juga kehumasan atau komunikasi, kemudian mengikuti sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan ini, dan diberikan materi serta diuji oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki latar belakang akademis ilmu komunikasi khususnya bidang kehumasan, lalu bagaimana pertanggungjawabannya ? Akankah mereka yang notabene secara akademis dan pengalaman sudah memiliki kualifikasi yang layak akan membiarkan pihak lain mengujinya, tidakkah itu sebuah pelecehan atas ilmu pengetahuan dan profesi ?

BUSINESS IS BUSINESS
Akhirnya, tiga kata sakti itulah kuncinya, business is business. Profesi kehumasan adalah profesi yang sangat menarik, menjanjikan, tapi sekaligus terlihat glamour, mudah, menyenangkan, ditambah kharakter profesi itu sendiri yang sangat terbuka dan multi disipliner, membuat profesi humas seringkali menjadi pelecehan oleh banyak pihak.

Cobalah simak setiap lowongan pekerjaan bagi profesi humas, begitu longgar kriteria yang disyaratkan. Apa bedanya dengan profesi akuntan, pengacara, dsb. Mengapa akuntan hanya boleh diisi oleh mereka yang benar-benar merampungkan sarjana akuntansi ? Sementara ada sebuah departemen komunikasi mempekerjakan seorang sarjana akuntasi sebagai petugas humas ? Dan mengapa, jabatan pengacara dan notaris hanya boleh diisi oleh mereka yang telah merampungkan gelar sarjana hukumnya ? Mengapa profesi humas tidak bisa ?

HUBUNGAN MASSAL
Demikianlah, humas akan tetap menjadi sebuah olok-olok profesi, seperti kebanyakan masyarakat bilang, humas : hubungan massal. Sayangnya, para ilmuwan komunikasi pun tampak enggan untuk menjadi pelopor yang melakukan pembenahan atas profesi ini. Tentu mengandalkan pemerintah untuk memikirkan perkembangan profesi ini sebagai sebuah profesi yang berfungsi sebagaimana seharusnya rasanya terlalu naif. Maka sudah selayaknya, bila para pelaku yang memiliki integritas itu sendirilah yang memulai melakukan pembenahan itu. Namun di mana mereka ? Mungkin mereka terlalu sibuk dengan ego pribadi untuk membangun personal brandingnya sendiri to be somebody.

Bagaimana dengan dunia pendidikan ? Tak kalah menyedihkan, dunia pendidikan tampaknya sudah melacurkan profesi ini dan menjadikan jurusan humas sebagai daya tarik yang mendatangkan banyak uang dengan ribuan mahasiswa baru, tanpa melakukan seleksi sumber daya manusia secara professional. Betul, setiap anak berhak untuk belajar, namun setidaknya aturan main selama proses belajar mengajar tetap harus memiliki idealisme dengan parameter yang relevan. Sayangnya, institusi pendidikan kini seolah tak peduli dengan kualitas yang seharusnya dikedepankan dalam melahirkan sarjana-sarjana baru yang mereka entaskan, khususnya sarjana komunikasi jurusan humas. Karena itu tadi, tak ada seleksi dan tak ada pula parameter ketat.

So, kini waktunya bagi kita untuk bercermin dan melakukan kontemplasi, kita berada di mana, kita merupakan produk yang mana, dan kita sebingung apa, ataukan kita sudah tak peduli ?


No comments:

Post a Comment